Jalan Romansa [Cerpen]

11.40 0 Comments


Di kota kecilku ada sebuah jalan. Jalan romansa namanya. Entah mengapa dinamai demikian. Aku tidak tahu. Tapi dari cerita turun temurun yang dilisankan ada sebuah legenda tentang jalan romansa. Suatu kisah tentang penantian, kesetiaan dan cinta yang tiada akhir. Benarkah? Aku cuma tertawa dan menyangsikannya.

Konon katanya dulu, ada sepasang muda-mudi belia. Mereka seperti halnya remaja yang kasmaran mempunyai hobi unik. Setiap sore berjalan bergandengan menyusuri jalan di pinggir taman kota. Terkadang jika kelelahan mereka duduk di bangku bawah pohon yang rindang sambil mengamati matahari yang tenggelam perlahan-lahan. Duduk berdampingan sambil bercerita. Sementara tangan mereka masih erat berpegangan. Terkadang pula si pemuda merapikan rambut gadisnya yang panjang terurai jika dipemainkan angin-angin nakal. Dan baru pulang ketika hari benar-benar gelap. Saat lampu-lampu taman dinyalakan.


Begitu terus. Sampai pada akhirnya meletus pertempuran yang kelak menjadi gerbang kemerdekaan bangsa ini. Si pemuda mendapat panggilan tugas wajib militer. Maju ke garda depan peperangan. Bersenjata doa, berselempang keberanian. Dengan berat hati ia harus meninggalkan gadisnya. Si dia yang wajahnya selalu ia bawa pergi ke setiap tidurnya.

Sore itu, si gadis melepas kepergian kekasihnya di stasiun kereta. Ada debar kecemasan, ketakutan dan keikhlasan. Ketika peluit panjang melengking dari kereta si gadis merasa kesepian yang sangat. Perlahan lahan kereta api yang mengangkut para pejuang muda itu tenggelam bayangnya dibalik senja yang turun menyelimuti kota itu. Si gadis tidak sendirian disana. Ada gadis muda lainnya yang seperti dirinya. Melepas kekasih untuk membaktikan diri di haribaan bunda pertiwi. Ada juga ibu-ibu yang melepas suaminya sambil menggendong bayi yang masih merah. Ada juga yang melepas kepergian putranya. Stasiun itu ramai. Padat oleh kerumunan manusia. Tapi dilingkupi keheningan. Akankah putra, suami, kekasih yang mereka cintai akan kembali? Tidak ada yang tahu pasti.

Hari berganti hari. Waktu terus bergulir. Mengabarkan peperangan yang seolah tiada akhirnya. Si gadis masih seperti dulu. Berjalan-jalan di jalan pinggir taman kota sambil memakai gaun terbaiknya. Dan jika kelelahan duduk di bangku bawah pohon sambil mengamati matahari senja yang perlahan tenggelam di telan kabut malam. Tapi kali ini si gadis hanya sendiri. Pemuda yang dikasihinya belum juga pulang. Si gadis terus menanti dengan penuh ketabahan.

Tapi akhirnya datanglah kabar gembira itu. Kemerdekaan sudah tergenggam di kedua telapak tangan. Si gadis bersyukur. Di sela derai air matanya ada harapan kasihnya akan segera pulang tanpa suatu apa pun. Bergegas ia ke stasiun bersama perempuan-perempuan lainnya. Menjemput putra, suami dan kekasih tercinta.

Stasiun kali ini ramai. Riuh rendah oleh suara. Ada tangis yang meledak mendengar kerabatnya gugur di palaga, tapi banyak juga yang terisak bahagia. Yang dinanti sudah tiba dengan selamat. Si gadis masih kebingungan mencari kekasihnya. Tapi kemudian matanya menangkap sesosok tubuh yang dikenalnya. Si gadis tergugu. Pemuda itu membalik badan. Matanya membeliak lebar. Gadis dan pemuda yang saling cinta itu kini berhadapan. Saling memandang. Tak ada ucapan kerinduan. Bibir mereka terkunci. Tapi sepasang mata si gadis, sepasang mata pemuda itulah yang berbicara. Di sudut mata si gadis terbit airmata yang menyerupai kristal. Betapa penantian panjang itu kini sudah diketahui jawabnya. Kiranya Tuhan telah mendengar doa mereka.

Pasca kemerdekaan si gadis dan pemuda kembali melaksanakan kebiasaan mereka. Menyusuri jalan di pinggir taman kota sambil erat bergandengan. Tidak peduli dengan tatapan aneh orang lain. Kebiasaan kecil ini telah membuat mereka yakin telah memiliki satu sama lain. Di jalan ini pula si pemuda meminta si gadis agar menikah dengannya. Menjadi permaisurinya, menjadi ibu dari anak-anaknya. Si gadis mengiyakan. Hanya dengan anggukan.

Setelah menikah pun mereka tetap seperti dulu. Jalan-jalan sambil gandengan. Hanya saja di antara mereka kini terdapat sepasang anak kecil. Anak-anak yang lahir dari buah cinta mereka. Sepasang anak kembar yang kini membuat hari hari mereka semakin bercahaya. Seolah tak ada lagi senja dan kegelapan di usia mereka yang mulai menua.

Orang-orang yang melihat perjalanan kisah mereka menjadi kagum. Betapa pasangan itu kini telah menjadi legenda hidup yang dapat kita temui setiap sore. Penjual bunga, pemilik kedai kopi dan pembuat gula-gula yang tinggal di jalan itu memutuskan membuat sebuah monumen kecil. Sepasang patung pria dan wanita muda yang erat bergandengan. Di bawah patung itu ada sebuah papan marmer putih. Disana tertulis nama si gadis dan pemuda. Dibawahnya tercetak pula nama pasangan-pasangan yang berhasil menikah setelah meminang gadisnya di jalan itu. Begitu banyaknya pasangan yang mengakui karisma merah jambu di jalan dekat taman kota. Hingga akhirnya mereka sepakat menamai jalan itu jalan romansa.

Jalan romansa kini bukan hanya milik si pemuda dan gadis. Tapi milik semua orang. Ada kakek nenek, bapak-bapak dan istrinya, juga pasangan remaja gaul dengan gayanya yang modern tak lagi sungkan meniru kebiasaan jadul ini. Mereka semua ingin agar kasih yang mereka rajut menjadi abadi. Seabadi gandengan patung pemuda dan si gadis.





Pemuda dan gadis yang diabadikan dalam patung itu kini telah beranjak senja. Si pemuda berumur 78 dan gadisnya 74. Tapi gandengan mereka masih erat seperti dulu. Anak kembar yang biasanya turut bersama mereka kini telah menjadi dokter dan dosen. Merantau jauh. Meninggalkan kedua orang tuanya. Tapi toh sepasang manula itu masih setia seperti dulu. Jalan-jalan, duduk di bangku. Dengan lutut sedikit gemetar dan tongkat kayu yang kini membantu mereka menyusuri jalanan penuh kenangan dan cinta yang mereka impikan semasa muda. Hingga nanti jejak-jejak mereka tak lagi terbaca. Terhapus oleh hujan.

Dulu aku menertawakan kebiasaan itu. Bergandengan tangan di sepanjang jalan romansa. Tapi sekarang? Entah ini sugesti dari orang-orang atau memang jalan romansa memilikimkarisma merah jambu aku tidak tahu.

Yang jelas sekarang namaku dan nama suamiku kini tercetak di papan marmer bawah patung si gadis dan pemuda. Lima tahun lalu. Aku juga menikmati saat sore hari ketika suamiku menggandeng tanganku. Menyusuri jalan romansa sampai gelap menyelimuti kota kami. Dalam genggaman tangannya aku merasa bersyukur. Dan berharap genggamannya tak akan pernah lepas. Sampai nanti.

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: