'teman' dalam puisi [Cerpen]

15.46 0 Comments

Kata pemuda-pemuda kampung sini, termasuk anak kostku, nama gadis itu Nia. Rambutnya hitam lurus, panjangnya hamper sepinggan. Alis matanya tegas namun memberi kesan ramah. Matanya memiliki lirikan yag tajam namun penuh kesan. Bibirnya biasa saja, tapi senyumnya manis sekali. Meski tak pernah mendengar gadis itu berbicara maupun menyapa, pemuda-pemuda kampung sini tergila-gila. Setiap sore mereka duduk di depan kostku menghadap ke arah bangunan berlantai tiga itu.
Bangunan itu adalah sebuah asrama mahasiswi. Dari kamar kostku, aku bisa melihat sisi barat bangunan itu. Lantai pertama asrama itu tidak terlihat karena terhalang tembok. Lantai kedua dan tiga dipenuhi dengan jendela-jendela. Jendela kaca berdaun dua yang daunnya dibuka ke arah kiri dan kanan. Ada 6 jendela, jadi ada 6 kamar yang terlihat dari sini. Kamar Nia terletak nomor dua dari kanan di lantai dua.
Jendela Nia memang berbeda dari kamar-kamar lainnya. Setiap pagi jendela itu dibuka lebar-lebar mempersilahkan sinar matahari masuk. Tidak ada tirai yang menghalangi sinar. Sementara itu, jendela-jendela lainnya hanya terbuka satu daunnya. Ada juga yang terbuka seluruhnya namun memakai tirai, jadi kami tidak dapat melihat sesuatupun di dalamnya. Sebenarnya, tidak begitu mengherankan bila Nia membuka jendelanya lebar-lebar. Ia punya beberapa pot berisi tanaman hias yang ia letakkan di bingkai jendelanya. Tapi berbeda dengan tanaman hias kebanyakan, Nia memelihara bunga Azalea. Bunga Azalea adalah bunga yang mampu memancarkan aura dingin atau sejuk tetapi pemeliharaannya cukup susah. Tahu bahwa Nia memelihara bunga yang “lain” dari pada yang lain saja sudah membuatku terkesan.
Aku baru sebulan di kostku yang baru ini, tapi aku juga telah terbius dengan kecantikan, keanggunan dan senyum manis Nia, gadis yang terlihat di sebuah jendela berukuran 1 x 1 meter itu. Ingin sekali aku mengenalnya lebih dekat, tidak hanya mengamatinya dari jendela.
Kuberanikan diri bertanya pada temanku, siapa tahu dia pernah mengobrol dengan Nia.
“Zan, kamu pernah ngobrol sama tuh cewek?” tanyaku kepada Zandy.
“Belum. Kamu?”
“Belum juga. Kalo kamu Bram?”tanyaku pada Bram.
“Belum pernah. Anak asrama situ kan susah ditemui.”
“Oo… eh tahu nggak, kuliahnya dimana?” kucoba mencari info lagi.
“Nah itu… kita juga nggak tahu. Coba aja tanya Mas Bagus, dia kan udah 4 tahun disini…”
“Mas Bagus yang kosnya deket warnet itu?” Kutarik nafas lega, ada titik terang.
“Iya. Eh inget, habis tanya Mas Bagus jangan lupa kasih tahu kita, jangan dimakan sendiri, oke?”
“Aku tersenyum mengiyakan. Segera kuatur rencana menemui Mas Bagus sumber informasi. Keesokan sorenya, rencanaku terwujud. Mas Bagus bersama teman-temannya sedang duduk di depan kostku memandangi jendela Nia. Ada yang duduk-duduk di pagar, ada yang di lantai, ada yang membawa kursi dari dalam, bahkan ada pula yang menggelar tikar. Jumlahnya sekitar belasan orang. Ada yang sambil merokok, ada yang sambil bermain gitar, ada yang sambil kipas-kipas, ada yang sambil ngemil, ada yang sambil main kartu, ada yang sambil Facebook-an, sms-an dan lain-lain, tapi semuanya terlihat damai-damai saja. Sesekali Nia terlihat di jendela dan semua penonton menghentikan kegiatannya untuk menyapa Nia. Dan setiap pemuda-pemuda kampung sini bersorak-sorak memanggilnya, ia tersenyum. Hanya tersenyum. Tak pernah dijawabnya pertanyaan-pertanyaan seperti “Nia sedang apa?, “Nia boleh kenalan gak?”, “Nia sudah punya pacar belum?” yang ditanyakan penggemarnya. Bisa kulihat betapa terpananya pemuda-pemuda kampung itu. Demikian pula aku sampai hampir aku lupa menemui Mas Bagus.
Pelan-pelan kudekati Mas Bagus, dan kutanya
“Mas Bagus, saya Janu, anak kost sini. Boleh nanya tentang Nia, Mas?” tanyaku sesopan mungkin.
“Oh eh ya, Nia… Manis bener tuh cewek… Gile…”
“Mas sudah pernah ngobrol sama Nia?”
“Ngobrol? Ehm belum. Emangnya kenapa? Lu naksir ya? Ngaku aja deh lu, nggak heran kok, kita-kita juga.”
“Wah jadi ketahuan deh. Eh Nia kuliah dimana ya Mas? Sapa tahu bisa ketemu…”
“Waduh. Iyaya… gue gak tahu tuh cewek kuliah dimana, eh ada yang tahu gak Nia kuliah dimana?” Mas Bagus bertanya ke sekumpulan pemuda yang sedang terpana dan hasilnya nihil. Tidak ada yang tahu Nia kuliah dimana. Tidak ada yang pernah ngobrol dengan Nia. Jadi heran, darimana mereka tahu nama Nia?
“Yang bilang anak-anak kost sini yang udah pada pergi. Mereka yang suka nongkrong di sini sambil ngelihat cewek itu. Mereka bilang namanya Nia. Pokoknya Nia sudah jadi kecengan sama bidadari anak-anak sini sebelum aku mulai tinggal di sini.”
Jawaban Mas Bagus membuatku sedikit murung. Lenyap sudah kesempatan mencari tahu tentang Nia. Sumber informasi sudah meninggalkan kost ini. Meskipun demikian, tetap saja kuberharap suatu waktu aku dapat bertemu dengannya.
Hari demi hari berlalu, sudah setengah tahun aku di sini dengan kebiasaan memandangi jendela Nia setiap sore mulai sekitar pukul setengah lima, sampai maghrib. Seperti nonton TV, saking teraturnya. Setelah Ujian Akhir Semester (UAS) semester 5 aku berencana untuk pulang kembali ke kampong halamanku. Kota Ngawi. Hari itu aku pulang ke kampung untuk liburan sekaligus menjenguk ibu.
Stasiun lengang, hanya ada beberapa penumpang menunggu kereta. Diantara mereka ada satu perempuan dengan wajah yang sangat kukenal. Kuamati wajah itu dan aku kaget bukan kepalang sekaligus gembira karena perempuan itu Nia. Ya. Nia! Gadis yang selama ini hanya kulihat dari jendela. Sekarang, bagaikan malaikat ia duduk persis di depanku. Tak kusia-siakan kesempatan itu. Aku segera duduk di sampingnya.
“Mbak Nia?” suaraku bergetar. Dia manis sekali.
Perempuan itu menoleh sedikit heran, kemudian tersenyum kecil.
“Kenalkan, saya Janu, anak kost di samping asramanya Mbak Nia.”
“Ooo…” jawabnya sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku mendengar suaranya, dan seolah mendengar kemerduan penyanyi soprano.
“Mau mudik, Mas?” tanyanya membuatku tersadar dar keterpanaanku.
“I..iya. Mbak Nia mau mudik juga?”
“Iya. Lagi nunggu kereta. Eh Mas, maaf sebelumnya, tapi nama aku bukan Nia.”
Sekejap aliran darahku mengalir dengan deras. Aku salah orang? Tidak mungkin. Perempuan ini gadis yang selalu kulihat setiap sore, dan aku tidak mungkin SALAH.
“Mas heran ya? Aku memang cewek yang tinggal di lantai dua asrama mahasiswi itu, tapi namaku bukan Nia. Namaku Niken. Aku juga tidak tahu mengapa tiba-tiba saja mereka memberiku nama Nia.”
Jawaban Nia yang mengaku bernama Niken itu mulai membuka pikiranku. Untunglah tujuan kami searah hingga aku dapat melanjutkan ngobrol dengannya. Dua tahun lalu Nia mulai tinggal di kamar itu, dan setiap hari ia melihat banyak pemuda berkumpul di depan kostku memandangi jendela kamarnya. Jika sesekali ia muncul, pemuda-pemuda itu ribut mengajaknya berkenalan atau sekedar menanyakan namanya. Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah dijawab Niken, hanya ia tanggapi dengan senyum. Dan setelah kurang lebih sebulan, setiap Niken terlihat di jendela kamar itu, terdengar teriakan pemuda-pemuda itu memanggilnya Nia. Niken tak terlalu menggubris hal itu sampai sekarang. Pertemuan sore itu begitu mengesankan, pertemuan yang tidak kuceritakan pada teman-teman, karena dari pengamatanku, mereka sudah merasa cukup dengan mengaguminya dari jendela.
***
Setelah aku mengenalnya lebih dekat dan kami menjadi seorang sahabat. Aku baru tahu seperti apa Niken sebenarnya. Dia adalah seorang gadis penyendiri. Meski jauh dari keluarganya yang ada di Nganjuk. Kesendiriannya bukan karena jauhnya jarak dengan orangtuanya, melainkan karena seseorang yang dulu pernah mengisi hatinya. Seseorang itu tinggal begitu begitu lama di salah satu ruang hatinya. Ketika seseorang itu pergi, maka ruang itu tiada berpenghuni dan tiada yang mampu mengisi.
Aku dan Niken menjadi sangat dekat. Kedekatan kami makin erat karena kami sama-sama memiliki ketertarikan dalam bidang sastra seperti puisi, cerpen. Timbul keinginan dariku untuk mampu merengkuh hatinya. Seperti yang aku dambakan dulu. Gadis yang selama satu setengah tahun ini hanya bisa aku pandangi dari balik jendela kamarnya. Kini untuk sekedar menyapa, mendengar tawanya dan memandanginya tidak lagi perlu menunggu hingga maghrib menjelang.
Minggu pagi di taman kota, berdua di bangku pinggir jalan tempat orang-orang berjoging ria. Aku dan Niken sama-sama online bareng dengan Laptop dipangkuan. Aku berusaha menguak isi hatinya. Hati yang selama ini masih cukup tertutup untuk sekedar bisa aku singgahi dan mungkin. . . Aku tempati.
“Ken, sudah pernah punya pacar?”  tanyaku memulai perbincangan.
“Tumben kamu tanya gitu?”
“Hehe, ingin tahu saja. Kita kan sudah jadi sahabat dekat sekarang. Boleh donk aku mengenalmu lebiih dekat lagi.” Jawabku seraya memasang muka dengan senyum garing yang membuatnya tertawa kecil.
“Pernah, Januuu. . . “ sambil tangannya mencubit lengan kiriku.
Mungkin bagi orang-orang yang belum mengenal Niken sedekat aku mengenalnya, Niken adalah sosok perempuan yang manis tapi pendiam dan kalem banget. Tetapi setelah aku menjadi sahabatnya, ternyata Niken adalah seorang perempuan yang charming. Dia selalu mengumbar senyum simetrisnya dan tingkah manjanya ketika berada di dekatku. Dan hal itu pula yang membuatku semakin yakin untuk merengkuh hatinya.
“Kalau kamu Janu?” pertanyaan Niken seketika membuyarkan lamunanku.
“Kalau apa Ken?”
“Kamu sudah pernah pacaran?” Tanya sembari menaikan kedua alisnya yang tegas.
“Sudahlah.”
“Ooo…” jawabnya sambil tersenyum.
Lalu aku memberinya amplop kecil. Dalam amplop itu terdapat secarik kertas yang berisi puisi pernyataan cintaku padanya.
“Nanti dibuka dan dibaca setelah pulang ya Ken.”
“Ini isinya apa?” sahutnya.
“Sudahlah, dibuka aja nanti kalau sudah sampai asrama.” Jawabku sembari melemparkan senyum kecil padanya. Dia pun hanya menggangguk tanda mengiyakan permintaanku.
Hari pun sudah menjelang malam, seperti biasa aku memandangi jendela kamar Niken yang sebentar lagi akan ditutupnya. Akhirnya dia muncul dari balik jendelanya. Tapi tidak seperti biasanya. Dia memandang balik ke arahku tanpa sedikit pun melemparkan senyumnya atau melambaikan tangan seperti yang biasa Niken lakukan semenjak kami menjadi sepasang sahabat. Tatapannya begitu dingin. Tidak pernah aku melihatnya menunjukkan tatapan sedingin itu. Apakah puisiku salah? Apakah Niken kecewa karena aku mengungkapkan perasaanku? Apakah Niken kini membenciku? Ratusan, mungkin ribuan pertanyaan melayang-layang di kepala sepanjang malam itu. Aku takut. Sangat takut Niken membenciku.
Esoknya aku bangun kesiangan. Mungkin karena kegalauanku terhadap Niken yang berlarut-larut sehingga membuatku hampir tidak tidur semalaman. Tetapi aku menemukan amplop yang diselipkan di bawah pintu kamar kostku. Amplop itu bertuliskan “from Niken to Janu”  kemudian dibagian kanan bawah amplop ada kutipan “the end of something is the beginning of something else”. Ucapan yang dulu pernah aku lontarkan ketika sedang berbincang dengan Niken.
Pelan-pelan aku buka amplop itu. Di dalamnya terdapat secarik kertas.

. . .
Jangan salahkan cinta karna tak bersalah
Jangan dera cinta karna ia tak ingin terdera
Salahkan luka yang tak mau pergi
Salahkan ego diri yang tak mau mencintai sepenuh hati
Jalan yang kita lalui tak lewat disana
Tapi ada jalan yg lebih indah,abadi dan sederhana
Hanya itu yg bisa kuberi
Kusalahkan diri tak mampu membalas kasih
Kusalahkan diri mengapa tak mendamba saja padamu
Tapi hati ini terlalu kecil untuk menampung besarnya cintamu
Maafkan aku yang tak mampu kuatkan hati ini
Tapi takkan kubiarkan engkau terbang dengan sayap tak berkepak penuh
Aku disini tetap mendukungmu karna aku mau kau menunggu
Tunggu aku
. . .

“Tunggu aku” frase terakhir puisi itu semakin menguatkan keyakinanku bahwa dia belum siap “memulai” kembali. Meski penolakan selalu berujung kepedihan. Tidak untuk penolakan yang diberikan Niken padaku. Sebuah penolakan yang menenangkan. Kegalauanku pun berakhir seketika itu pula. Dan di hari-hari berikutnya, kami kembali seperti biasa. Meski canggung di awal, kami akhirnya kembali seperti sebelum aku menyatakan cinta pada Niken.
***
Seperti yang selalu aku takutkan. Perasaan sayangku pada Niken semakin kuat tiap harinya. Sudah empat bulan sejak pernyataan cintaku padanya. Dan hubungan kami pun kian dekat. Bahkan kami sering memanggil “sayang” satu sama lain.
Dipenuhi kegundahan. Ketika aku dan Niken sedang jalan berdua untuk beli bakwan kawi di RT sebelah. Setelah selesai makan, aku pun mengulangi apa yang dulu pernah aku lakukan. Aku memberi Niken amplop lagi. Dengan puisi didalamnya. Niken pun menerima amplop itu.
“Dibaca kalau sudah di asrama kan?” sahutnya. Seolah dia sudah member isyarat kesediaan.
“Iya, sayang.” jawabku.
Ketika kami harus berpisah untuk kembali ke kosan masing-masing. Aku mengingat-ingat kembali puisi yang aku berikan kepada Niken.

. . .
Kelakarmu pemecah kesunyian hati
Seuntai senyum itu merayuku tuk menyapa
Selayaknya pemuda dalam roman opera
Aku menatapmu senja itu, senja itu
Jenawi dewi yang terpautkan mentari
Senja itu, malu tuk redupkanmu.
Senyummu beraut fajar berparaskan bidadari
Buatku yang sempat terkalahkan rasa
Terkalahkan rasa takut akan kegeraman hatimu
Kembali dengan syair maya yang teruntai rindu
Aku memang pecinta klasik yang mencintamu
dulu kau pinta ku menunggu
kini masih aku menunggu kau terima aku kembali, tuk
Jadikan aku tungku jika tiada tempat baramu mengabu
Jadikan aku penyala api kehangatan jika bara itu beku, dan
Jadikan aku lelaki yang disempurnakan takdir dengan kau dibelakangku
Meski kini kau hanya ‘teman’ku.
Aku menunggu jawabmu 'lagi'.
. . .

Ya! Itulah puisi yang keberikan padanya. Puisi terakhir yang aku berikan untuk Niken. Jika dia menerimaku, akan kubuatkan ratusan, bahkan ribuan puisi untuknya seorang. Jika tidak. . .
Ah, lama sekali esok datang. Aku sudah tak sabar ingin mengetahui keputusannya.

Yogyakarta, 28 Desember 2011

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: