Sesuatu Hal [Cerpen]

20.11 0 Comments


Katakan saja, aku bukan ingin membuat ia tertawa. Hanya saja, ia tertawa sebelum aku bertanya apa kabarnya. Kupikir ia bercanda. Berhubung mulutnya terbuka lebar dan cekakakan semaunya. Aku bingung. Padahal, aku tak sedang melucu. Dan bajuku rapi, tak ada sebagian pun yang lucu dariku. Mungkin karena perubahannya sekarang lebih banyak tertawa terbahak daripada terdiam menyendiri memakan sepi.

Tawanya terbahak itu mulai menggangguku. Aku terusik dan ingin meninggalkan dirinya. Aku tak tahan lagi, ia benar - benar membuatku terusik minta ampun. Sedikit di benakku merasa malu. Semua penumpang yang ada di mikrobus itu melihatku. Aku tertunduk, dan berusaha membuang wajahku tak terlihat oleh mereka. Kubungkam mulut temanku itu. Nafas hangat tangannya mengepul membasahi telapak tanganku. Aku menahannya, menyeka tawanya sampai ia terhenti.


“Sudahlah, kau jangan tertawa terus! Itu tak lucu! Aku jadi malu! Kita terlihat seperti orang gila!” kuberkata padanya di bangku terbelakang pojok kanan mikrobus itu.

Dia tak menggubris. Tawanya makin menjadi. Mulai mengusik semua orang. Terpaksa, kutampar wajahnya. Keras sekali. Tampak kemudian pipinya memerah. Mulai mengusap kemerahan itu dan mengecilkan volume tawanya. Para penumpang pun tak lagi tertarik memandang kami.

Ia menatapku. Lalu, memalingkan wajahnya menatap pemandangan luar jendela berganti - ganti karena sedang melaju pada 60 km/jam. Aku juga begitu. Membelot tak peduli.
“Apa yang kau katakan benar, aku butuh seorang sahabat!” katanya lirih.

Aku tertarik pada perkataannya. Menunggu apa yang ia katakan kemudian. Perlahan simpatiku padanya. Karena tetesan air mata yang pedih ia tahan tak terbendung lagi, dan mengalir sangat perlahan.
“Apa yang kau sedihkan? Bukankah kau sudah cukup gembira hampir satu tahun ini?” ucapku penasaran.

Dia menyetop air mata itu mengalir. Mengubahnya lagi menjadi tawa kecil menipu. Ia membuka tas pribadinya. Sebatang pulpen ia raih, sambil meremas. Ia tahu, pulpen itu tak akan bisa patah dengan diremas. Lalu melukiskan simbol hati pada tangannya. Kemudian ia coret - coret berulang.

Aku hanya melihatnya. Membiarkannya melakukan apa yang ia suka. Masih menahan air matanya itu. Dia berhenti mencoret. Dengan buru - buru, coretan itu ia hapus. Ia bermaksud menghapus coretan itu dan menemukan kontur hati yang tadi. Aku heran, dan mulai bertanya. Apa yang ia inginkan? Kelakuan itu begitu aneh. Tentu saja, menghapus tinta pulpen itu, tak semudah menghapus tinta spidol pada papan putih. Ia juga sadar, lalu menyerah.

“Seperti inikah hatiku? Bahwa kesalahan yang kubuat sengaja, tak mudah untuk kukembalikan seperti semula!” katanya mendengung. Mengurangi sedikit demi sedikit lagi air mata itu sampai benar - benar kering. Tawa kecil menipu itu pula berhenti, dan ia benar - benar melamun. Di tengah bising jalanan itu. Di sela getaran - getaran mikrobus yang tak jarang begitu keras mengagetkan.

Aku meraih punggungnya dan menepuk beberapa kali. Sebelum ia tersadar, aku berkata, “Tuhan sudah menggariskan hidupmu seperti itu. Terimalah!”.

Tanpa peduli ia mendengarkan ucapanku tadi dan merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.
“Aku telah mengerti. Hidupku sekarang serba gagal. Orang tuaku, studiku, pekerjaanku, orang - orang di sekelilingku, hingga asmaraku,” dia berucap, dan aku mulai mengerti.

Dia temanku. Baru sekitar tiga bulan bertemu. Hanya pada mikrobus ini. Menjalin benang - benang silaturahmi begitu terbatas. Mulanya ia tertutup. Dan begitu acuh pada cerita - ceritaku yang mungkin tak penting baginya. Selain itu, dulu, jarang sekali lesung pipitnya terlihat dan memilih bungkam, memandang pemandangan. Di situ, di kursi tadi. Sekarang ia sangat terbuka dan selalu membuatku tertawa. Namun entahlah, sepertinya ia berubah lagi.

“Katakan Kawan, lampiaskan isi hatimu dan lepaskan beban - beban itu!” kataku.
Ia diam lagi. Dan aku teringat bahwa dia tak suka curhat. Dia yang kukenal sungguh sabar dan penuh canda. Dan tak tersirat pun kepedihan mendalam seperti ini.

Kutepuknya punggungnya lagi. Dia terganggu dan mengusir tanganku. Kucoba tersenyum. Dia malah memaling. Kucoba mengejek, ia tak suka dan mengerutkan bibirnya. Aku ceroboh. Ku terlalu memaksanya bercerita. Karena memang, ku terlalu penasaran pada apa yang akan ia katakan. Sambil menunggu ia bercerita sendiri, aku menebak - nebak perkataannya dalam hati dan membiarkan ia terdiam sejenak.

Derasnya angin bebas menerpa dari kaca yang terbuka. Membawanya pada kenyamanan yang benar - benar membuatnya tenang. Sandaran kursi empuk itu pula merilekskan hatinya dan pejamkan mata. Dia menikmati hal itu dan menghela nafas. Seketika matanya terbuka berbarengan dengan terhentinya mikrobus itu mendadak karena mendapat penumpang. Ia lalu melihat dan mengamati penumpang baru itu.

Yang ia lihat adalah seorang ibu yang menggendong bayinya menangis. Seorang anak sekolah mempersilakan ibu itu duduk di tempatnya. Senangnya ibu itu apalagi bayi yang ia pangku kemudian. Bayi itu meronta dan mencari puting ibunya. Bayi itu meminum air ASI ibunya. Dan setelah lama, ia berhenti menangis dan tertidur. Membiarkan ibunya duduk sesak pada rimbunnya kaki - kaki penumpang. Dia nyenyak sekali lucu dan sangat menggemaskan.

Aku hanya diam. Temanku itu sangat fokus melihat dan mengamati bayi itu. Lalu beribu kata kemudian terlontar dari bibirnya yang menandakan bahwa ia siap bercerita padaku. Aku, mendengarkan saja. Dia bercerita panjang lebar. Yang garis besarnya tentang anak dan ibu. Seperti halnya bayi itu, ia juga meminta pada ibunya. Ketika permintaan itu tak dikabulkan, ia menangis dalam hati. Selain itu ia yang sekarang belum mampu membalas kasih sayang itu karena tangannya sibuk sendiri di tempat lain. Dan hanya berharap ibunya bangga.

Ya, ia meminta karena suatu hal. Dan ketika kutanya apakah sesuatu hal itu, dia hanya menggeleng dan mengangkat bahu. Lalu ia terdiam lagi seperti semula menikmati ketenangannya bagai tak peduli hatinya sedang berkecamuk itu. Sementara itu, aku juga terdiam dan menunggu lagi ceritanya itu.

Saat itu sore. Belum terlalu sore tepatnya. Adzan Asar kemudian mendengung di sela - sela getaran - getaran mikrobus itu. Seketika tenang sejenak saja menghilang ditelan jarak yang masih melaju. Kulihat temanku mengusap wajahnya. Aku terdiam dan masih menebak - nebak.

“Kesalahanku, bukan hanya pada orang tuaku. Tapi juga pada Allah SWT. Karena sesuatu hal, aku jadi mendekati larangannya dan menjauhi perintahnya,” katanya tersendat - sendat. Ia menghela nafas panjang dan berpaling. Ketika kutanya apakah sesuatu hal itu, ia juga menggeleng dan tak tahu kenapa.

Aku terdiam lagi dan mengangguk mengerti. Aku menatapnya yang sedang menikmati angin itu begitu damai. Dia kemudian menggaruk - garuk kepala. Lalu melihat sekeliling mikrobus itu. Sepasang wanita bercanda sambil ngerumpi. Sepasang kakek dan nenek terduduk lemas. Seorang lelaki dan wanita muda yang saling berpaling. Penumpang berdiri berdesakan. Hingga kernet yang menyelinap di antara mereka dan meminta - minta.

“Yang paling parah, aku gagal dengan teman - temanku yang lain. Karena suatu hal. Perbuatanku, membuat mereka menjauh,” katanya lagi sambil memandang luar. Aku mengangguk saja dan bertanya hal yang sama seperti tadi.

“Apakah suatu hal itu?” kataku. Dia masih saja menggeleng - geleng.

Setelah ia suka bercanda. Memang perkataannya selalu tak pernah serius. Ada - ada saja tingkah konyol ia lakukan. Lama kelamaan orang - orang di sekelilingnya bosan. Hingga kepercayaan pun enggan mereka timpalkan padanya. Wajar, tak pernah ia tunjukan tanggung jawab itu. Sehingga kisahnya berimbas pada kisah cintanya. Karena suatu hal ia selalu tak serius untuk bercinta. Lalu tercampakan. Sudah lebih dari lima lawan jenis ia coba. Begitu seterusnya hingga memori tentang ini terulang - ulang. Dan selalu gagal. Namun, Dia tak pernah sedih, tetap tersenyum.

“Sekarang aku sadar. Bahwa cinta dari siapapun begitu penting,” katanya. Dia temanku, dan juga lawan jenisku. Aku berdebar. Sebagai temannya, aku bagai telah membuka loker rahasianya itu. Tentu, sedikit hatiku iba, sedikit hatiku senang, dan sedikitnya lagi cinta.

“Apakah kau tahu, sesuatu hal itu Teman?” katanya lagi. Aku mengerti, dan aku mengangguk.

“Apakah sesuatu hal itu kau?” katanya lagi. Mukaku memerah. Dan menggeleng kepala.

“Lalu apakah sesuatu itu? Katakan!” ucapnya mendekatiku. Aku meraih daun telinganya dan berbisik. Seuntai kata yang kuucapkan membuatnya mengerti. Ia mengangguk dan tersenyum lebar.

Ternyata jarak rumahku sudah dekat dan aku pun beranjak meninggalkannya. Dia hanya melambai dan mengucapkan salam. Aku pun begitu. Setelah aku memijak tanah asli itu aku merasa senang. Aku masih melakukan tugasku sebagai teman. Dan pilihanku benar. Aku tak akan bernafsu tentang cinta. Terakhir yang teringat di pikiranku setelah ia melaju jauh bahwa sesuatu hal itu, adalah, ia benar - benar “Pria Kesepian”.

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: