Bahasa Mata [Cerpen]

01.37 0 Comments


Dulu semua orang di desaku menganggap pakde yang berhasil menikahi bude si kembang desa dan anak pak lurah adalah orang yang paling beruntung. Lelaki yang paling beruntung di seantero Sido Bunggul, Desaku. Bude adalah anak pertama dari kakek dan nenekku. Ia dilahirkan sebagai putri kesayangan dan kebanggaan. Kulitnya putih, tinggi semampai, mata yang lebar dan rambut panjang menjadi magnet terkuat untuk menarik setiap pemuda di desaku. Sebagai seorang lurah, kakek tentu saja mempunyai lahan pertanian yang luas, ternak yang banyak dan sehat dan tentu saja jabatan serta kehormatan. Ini juga yang membuat bude menjadi rebutan diantara pemuda-pemuda kampung. Sudah cantik anak lurah juga.

Diusianya yang kelima belas sudah banyak pinangan untuk bude. Tapi bude menolak semua pinangan itu dengan gelengan kepala dan senyuman tipis. membuat para peminangnya jatuh limbung tertimpa kekecewaan. Mulai dari anak kepala desa sebelah hingga anak pak camat sudah terkena pahitnya penolakan bude. Kakek juga heran dengan semua penolakan itu.


“Wulan, kamu mencari laki-laki yang seperti apa?” tanyanya pada bude setelah dilihatnya seorang pemuda kembali ditolak bude. Kakek setengah geram pada bude.

“Kuwalat kamu jadi perawan nolak laki-laki yang baik seperti itu. Kurang apa anaknya Pak Haji Mahmud itu?! Kurang apa? Lulusan IAIN, pinter, soleh. Ini sudah diangkat jadi guru di Madrasah desa. Kamu sudah bisa hidup enak jadi istri guru. Kurang apa nduk?!” kakek mencak-mencak. Tangannya berkacak pinggang.

Tapi bude hanya tersenyum dan ngloyor pergi begitu saja. Rambut ikal mayangnya berayun mengikuti langkah bude. Kakek makin geram. Berteriak, “Mentang-mentang ayu jo salahne aku nek dadi prawan ora payu!!!!!’

Begitu terus. Tahun demi tahun berlalu. Akhirnya, ibuku dulu yang menikah. Melangkahi bude. Saat itu ibu berumur tujuh belas. Dan bude dua puluh. Prosesi langkahan dalam pernikahan ibu berjalan dramatis. Kakek dan nenek termangu-mangu. Tidak menyangka, putri bungsu mereka-ibuku- yang dulu terkenal bengal dan bandel, tomboy sekarang sudah menikah melangkahi mbakyu-nya yang kembang desa terkenal. Ibu menikah dengan bapak. Seorang anak laki-laki juragan gabah teman masa kecil ibu mandi di kali dan keluyuran di sawah sambil main layangan. Prosesi berjalan khidmat. Tapi bude hanya tersenyum ketika ibu meminta untuk menikah lebih dulu. Setelah itu ibu diboyong bapak untuk menjajagi hidup baru diluar kampung. Mencoba membuka toko sembako di pasar besar kabupaten.

Setahun setelah pernikahan ibu, lamaran kepada bude bukannya surut tapi tambah deras saja. Tak sedikit yang membawa tanda mata perhiasan emas satu set, atau kain kebaya mahal. Tapi bude hanya tersenyum dan tidak pernah sekalipun mengiyakan. Kakek semakin stress. Malu menghadapi anak gadisnya yang tak kunjung menikah. Apalagi di desaku menjadi sebuah ketabuan jika seorang gadis tak kunjung menikah jika usianya sudah diatas delapan belas tahun. Jabatan lurah yang disandang kakek membuat bebannya makin berat. Masyarakat sekitar menganggap kakek yang lurah tak becus mencarikan jodoh untuk anak gadisnya. Akhirnya kakek tak lagi peduli siapa lelaki yang meminang bude. Asal bude mau menikah itu sudah membahagiakan kakek.

Ibu melahirkan aku umur delapan belas. Ketika aku berumur dua tahun kakek dan nenek meminta agar aku ikut bersama mereka. Untuk menemani hari-hari di desa yang sepi. Ibu dan bapak sebenarnya keberatan. Tapi melihat kakek dan nenek yang sangat mengharap kehadiranku mereka tidak tega. Jadilah sejak saat itu akau tinggal di desa bersama mereka hingga sekarang. Sedang bapak dan ibu sering mengunjungiku disini. Toko klontong mereka sekarang sudah menjadi besar.

Saat itu aku kelas satu SD. Ada seorang laki-laki muda. Tidak terlalu tampan dan tidak membawa apa-apa. Kakinya kasar dan rautnya tegas terbakar matahari. Dengan lugu mengatakan kepada kakek bahwa ia ingin memperistri bude. Kakek hanya mengangguk lemah. Apakah mungkin laki-laki lusuh seperti ini akan diterima bude? Tapi ketika bude mendengar perkataan lelaki kumal itu, matanya berbinar dan mengiyakan.  Bersedia bahwa ia mau menjadi istrinya. Kakek terbelalak. Kaget dengan pilihan putri kesayangannya dan bercampur bahagia lantaran status perawan tua akan luntur dari putrinya.

Laki-laki yang dinikahi bude, bukan lelaki kaya atau tampan bahkan terkenal. Ia hanya seorang petani sederhana. Tapi kakek tidak peduli. Yang ia pedulikan bahwa putrinya bahagia dengan pilihannya. Pesta pernikahan bude dihelat selama tiga hari dua malam. Dilengkapi dengan pementasan wayang kulit dan hidangan lezat yang memanjakan lidah penduduk desa. Dibalik kemegahan pesta pernikahan bude ada desas-desus tidak menyenangkan. Bahwa bude kena guna-guna atau apalah. Bahwa tidak serasinya bude yang seelok bidadari bersanding dengan petani miskin itu. Bahwa tak sedikit lelaki yang iri pada pakde, suami budeku itu. Desas desus itu semakin kencang, tapi kalah kencang dengan dengan tembang Asmaradhana yang dilantunkan para sinden di tengah pementasan wayang kulit. Juga kalah kencang dengan binar mata bahagia bude yang malam itu tampak cantik dengan rambut di sanggul dan kebaya merah. Pakde juga bahagia. Hanya saja wajahnya teduh dan tenang. Saat itu aku tahu apa yang membuat bude jatuh cinta dengan pakde hingga mau menikah dengannya.

Setelah menikah kakek meminta agar pakde tetap tinggal bersamanya. Pakde memang lelaki yang lembut hatinya. Ia menuruti kakek. Tinggal bersama-sama dirumah besar itu. Rumah kakek tak lagi sepi. Sudah ada aku dan pakde. Tawa sering menghiasi rumah kakek yang besar. Tak hanya bude, kakek dan nenek benar-benar bahagia dengan semua itu.

Tapi semua itu tidak membuat pakde berubah. Ia tetap petani sederhana yang berangkat pagi buta dan pulang menjelang senja. Sepeda kumbang dan cangkul kokoh itu tak pernah ketinggalan jika ia menggarap sawahnya. Kakek sudah membelikan pakde sepeda motor baru. Tapi pakde menolak halus. Penolakan pakde membuat kakek semakin menaruh hormat.

Kini pekerjaan budeku tak lagi menolak pinangan-pinangan itu. Ia sibuk mengurus rumah tangga dengan nenek, membersihkan rumah, mengurus ternak dan memasak. Membawakan makanan untuk pakde di sawah, dengan rantang tiga susun bude melangkah gesit di pematang sawah. Diantara rumpun padi yang menguning sosoknya benar-benar seperti dewi. Senyumnya itu yang mebuatnya jadi dewi. Sudah menemukan cinta di mata seorang petani sederhana.

Pakde dan bude berbicara dengan mata. Lebih dari bahagia yang mereka punya. Orang-orang desa terutama yang pernah ditolak bude masih kecewa. Tapi mereka saling menghibur satu sama lain. Berkata betapa beruntungnya pakde bisa menikahi bude. Lantas mereka tertawa. Menyadari keberuntungan itu tak ada di tangan mereka.

Lima tahun pernikahan bude dan pakde berjalan. Mereka belum dikaruniai putra. Tapi tatapan mereka masi sama. Bude dengan mata berbinarnya dan pakde dengan mata teduhnya. Pakde masi menggarap sawah walau kakek mengatakan itu tidak perlu dan bude masi mengantar makan siang pakde di sawah. Dunia masih tetap milik mereka. Walau sebenarnya jaman tak lagi sama. Pikiranku yang kanak-kanak sudah beranjak remaja. Melihat ada kekuatan yang mengatur ini semua. Dan itu adalah cinta.

Kemudian datanglah musibah  itu. Pernikahan mereka menginjak tahun ke delapan. Dan aku berusia empat belas tahun. Bude terjatuh di sumur saat hendak mengambil air. Pelipis dan telinganya mengeluarkan darah. Bude pingsan, kakek yang melihat kejadian itu langsung berteriak-teriak meminta tolong. Bude masih tak sadarkan diri ketika dilarikan ke rumah sakit.

Benturan di kepala bude menyebabkan pembuluh darah di otak membengkak dan koma selama dua minggu. Dua minggu itu juga pakde tak berada disawah. Ia terus disamping bude. Pakde tak pernah memanggil-manggil nama bude. Ia hanya menggenggam tangan bude dan memandangi wajah bude dengan lembut. Hanya itu yang pakde lakukan. Ia berbicara dengan matanya. Ya! Berbicara dengan matanya.

Setelah sebulan dirawat di rumah sakit bude diijinkan pulang. Walau begitu tak ada yang menyambut gembira. Karena semuanya tak lagi sama. Bude lumpuh. Kedua kaki dan tangannya tak lagi bisa digerakkan. Bicara saja bude susah. Kakek, nenek, bapak, ibu dan aku merasa miris dengan keadaan yang bude alami. Tapi pakde tidak. Ia masih Nampak tegar dan tersenyum. Meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sejak saat itu bude tak lagi mengantar rantang makanan untuk pakde disawah. Ia hanya bisa berbaring dan duduk di kursi roda. Pakde sekarang menjadi super sibuk. Pagi-pagi ia memandikan bude, lantas mendandaninya seperti saat bude masih sehat. Kemudian menyuapi bude dengan bubur sumsum yang dimasak oleh nenek. Lantas  membaringkan bude di kamar yang jendelanya sudah dibuka lebar. Setelah itu pakde berangkat ke sawah. Tengah hari pakde pulang untuk menyuapi bude dan mengganti popok bude yang sudah basah terkena kotoran. Selang satu jam berikutnya pakde kembali ke sawah. Jika dulu pakde pulang ketika maghrib, sekarang tidak. Jam empat sore pakde sudah sampai rumah. Pakde mandi terlebih dulu dan berpakaian rapi. Setelah itu baru pakde memnadikan bude. Jika sudah, pakde selalu memakaikan bude baju terbaiknya, menyisir rambutnya dan menggendongnya ke teras depan rumah. Di teras depan ada sebuah kursi panjang, dibawah naungan pohon jambu air. Disini pakde akan memangku bude dan menyuapinya. Pakde bercerita banyak tentang harinya. Betapa sekarang pupuk mahalnya minta ampun, harga gabah yang jeblok dan nakalnya burung-burung pipit yang merusak padi. Pakde menceritakan semua masalah itu dengan riang. Seolah-olah bukan masalah besar dan hanya lelucon kecil. Budeku tidak bisa menimpali obrolan pakdeku, tapi pakdeku tidak peduli. Ia terus bercerita dan tertawa. Seolah-olah bude juga berbicara.

Orang-orang kampung yang dulu selalu berkata betapa beruntungnya pakde yang bisa memperistri bude sekarang berbalik komentar. Komentar sinis mereka kini penuh dengan pujian. Betapa beruntungnya bude yang punya suami pakde. Yang mau mengurusi bude seharian penuh, memangkunya dan memanjakannya ketika bude  seperti boneka cantik tapi tak berdaya.

Kakek juga bangga dan kasihan. Tapi pakde keukeuh agar terus merawat bude. Ia melakoni semua itu bertahun-tahun lamanya. Aku yang melihat perjalanan mereka dari rasa iba menjadi takjub. Melihat pakde yang begitu menyayangi bude bagaimanapun keadaannya. Terus mengajaknya berbincang dan tertawa, menyuapinya dan menyisir rambutnya agar bude selalu terlihat cantik.

Dari sini aku baru mengerti. Bahwa sebenarnya pakde dan budeku masih saling bicara. Dengan mata mereka masing-masing. Bude dengan segala keterbatasannya. Bude yang berbicara dengan mata berbinarnya dan pakde yang menimpali dengan mata teduhnya. Aku ingat, pandangan mata ini adalah pandangan yang sama saat pertama kali mereka bersanding di malam pernikahan yang membuat iri banyak orang. Jujur saja, pandangan mereka saat inipun juga membuatku iri.

12 Februari 2012. 10.20 pm
Inspired from true story.
Edited by Me!

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: