Mbah dan Cangkir-cangkirnya [Cerpen]
Fajar menyibak pekat gulita
Embun turun membasuh kebangkitan pada gambaran kematian semalam
Dan perulangan kehidupan baru pun
Kembali tergelar
Dhenok dan Mbah Paerah tengah menikmati cangkir demi cangkir kopi di beranda rumah panggang mereka yang lumayan kuno dan menyimpan banyak sejarah. Harum pagi pedesaan menyibak di sela-sela kebun dan taman. Dari rumpun bambu di sebelah tenggara kebun, terhantar desau angin yang seperti menabuhi gamelan, "nang, ning, nung, neng, gung."
Siluet bukit di sebelah selatan desa yang ditumbuhi hutan jati dan karet, tampak abu- abu membisu dengan tebaran warna-warna kuning coklat yang ditorehkan oleh kemarau. Dhenok dan
Mbah Paerah pun tak banyak bicara, karena mereka sedang membiarkan hati meresapi senandung pagi.
Meski gerumbul dusun yang termasuk dalam rengkuhan perlindungan Gunung Lawu ini sudah banyak berubah baik dari paparan fisik maupun jiwa-jiwa penghuninya, suasana di rumah
Mbah Paerah seperti keabadian masa silam dan masa depan.
Dhenok dan
Mbah Paerah sesekali saling memandang dan tersenyum. Di mata Dhenok, Mbah Paerah tampak semakin penuh asih dalam balutan kebaya bunga-bunga coklat yang dibelikan oleh Harnum dari kota sebagai oleh-oleh. Wajah
Mbah Paerah yang dihiasi tahi lalat di dagu semakin tampak sumringah. Di mata nenek yang berbingkai rindu, Dhenok tampak ayu.
“Sunyi pedesaan yang indah.....” batin
Dhenok sambil melihat segerombolan itik dan ayam yang keluar untuk saba.
“Sayang, adik-adikku jarang mau diajak ke sini, "sepi, sepi, tidak asik" kata mereka selalu.”
“Ya memang, mungkin perasaan mereka begitu. Hanya ada seorang nenek yang biasanya menceritakan kemeriahan masa lalu, sambil mengelapi koleksi cangkir-cangkir kuno yang dulu sering disewakan untuk acara hajatan nan sakral dalam gending Kebo Giro. Kemeriahan anak- anak itu yang bermain penuh keceriaan hanya ada di halaman ingatan Mbah”
Anak-anak di pedesaan sekarang semakin jarang terlihat. Dua atau satu anak dalam rumah-rumah berbentuk modern dan tak mesti bersumbu Utara Selatan itu, kebanyakan bermain di dalam dinding-dinding.
Tapi mata Mbah yang hampir sebagian besar usianya menjadi penyaksi desa, selalu seperti taman yg tak pernah sepi dan ganjil, seperti Sungai Grindulu tapi yang tak pernah kemarau. Tapi, ada juga di sorotnya wilayah-wilayah yang jauh belum bisa dipahami. Dhenok menyadari lembar-lembar buku kehidupan yang dibacanya belum jauh.
Dhenok kembali menyesapi kopi, dari cangkir-cangkir berhias bunga yang telah melewati masa di mana pribumi tiap pagi diharuskan menyembah matahari.
Tibatiba, dari samar kabut ada seorang pria tak jelas berapa umurnya mendatangi beranda. Penampilannya seperti penggembala kambing dengan tongkat seperti dalam ceritacerita. “Heran, hari begini ternyata masih ada penggembala kambing seperti dalam cerita itu?”
“Permisi Mbah, desa ini namanya apa? Saya sedang mencari satu kambing saya yang hilang.”
“Masuk dan istirahatlah dulu, Kisanak. Tampaknya engkau begitu lelah. Biarkan aku membuat secangkir kopi untukmu.”
Mbah Paerah menyilahkan pria itu masuk ke ruang tamu. Mbah Paerah segera bergegas menuju dapur. Menyiapkan kopi dan ubi rebus.
“Siapa itu Nek? Dari mana? Mau apa? “ tanya Dhenok.
“Mbah ndak tahu, Nduk. Menungsa.”
"Kemarin juga ada orang yang mencari sebutir tasbihnya yang hilang."
Untuk simbah yang tenang di sisi-Nya.
0 komentar: