Ami Tumi Valo Vasi* [Cerpen]

23.35 0 Comments


Cahaya café remang-remang itu membuatku leluasa memandang wajah lelaki di depanku. Aku melihat kesungguhan di matanya. Apakah ini mata yang sama empat tahun yang lalu? Mata yang membuatku marah dan kecewa? Aku menunduk. Menyembunyikan perasaan campuraduk yang kupendam.

*****

Aku tertawa. Rok sekolah abu-abuku sedikit koyak dan jahitan kelimnya lepas. Kak Alan juga. Celana sekolahnya robek di bagian lutut. Dua sepeda  yang kami tumpangi tergeletak di trotoar. Rodanya berputar-putar.




“Kak Alan kenapa ngga ngerem? Udah tau aku mepet gini?”


“Udah. Eh ngga taunya sepeda kakak remnya blong. Ya maaflah Dek. Kan kakak ngga sengaja….”


“huuuu lihat nie! Aku jatuh. Rokku kotor, sobek. Pasti aku dimarahi ibuk”


“Yeeee…. Kakak juga nie. Celana kakak juga sobek. Lututnya juga sobek….”


Aku terkejut. Bangkit tertatih menghampiri kak Alan. Dia duduk selonjoran. Celana abu-abunya yang sobek menyiratkan sedikit warna merah. Lututnya terkelupas. Warna merah dan darah mulai merembes. Aku sedikit panik. Membuka tas ranselku. Dikotak pensilku ada plester. Pelan-pelan aku memasang plester itu di lutut Kak Alan. Ia meringis.


“Nie udah aku pasang plesternya…..”


“iya dek. Makasih yaaa…..”


Kak Alan mengacak rambut panjangku. Aku cemberut lagi. Sepeda tak lagi kami naiki. Berjalan beriringan. Tak terasa hari sudah senja dan gelap. Mendung juga. Gerimis turun rintik-rintik. Aku dan Kak Alan setengah berlari menuntun sepeda. Kami ingin pulang.

*****
Lelaki itu berdiri di sebelah Kak Alan. Perawakannya biasa. Seperti kak Alan. Namun gayanya itu. Paduan dari tengil, sok dan macam-macam……OMG! Inikah nanti, yang jadi senior di klub kepenulisanku? Ia memperkenalkan dirinya secara singkat. Dirga. Ya hanya itu yang aku ingat. Aku tidak peduli dan melengos.

*****

Dia masih memandangku hangat. Tangannya menggenggam tanganku. Rasanya aliran darahku naik ke muka dan membuat pipiku pinky. Alamaaaaaak!!!! Waitress yang hendak menghampiri kami kembali ke dapur. Aku semakin tertunduk dan tenggelam. Setengah memaki. Kenapa aku terjebak dalam situasi telenovela seperti ini…

*****

Artikelku sudah jadi. Aku bergegas ke basecamp. Sekotak ruang kecil berukuran 3x4 meter dimana kami belajar menulis dan melukis. Aku ingin menemui kak Alan. Meminta pendapatnya tentang artikel yang aku buat. Sampai di basecamp sepi. Tidak ada orang. Kecuali Kak Dirga. Aku sudah merasa badmood. Ia melihatku sekilas.


“ada apa Dek?”


“saya mencari Kak Alan….”


“Alan ijin hari ini. Jadi semua karya tulis diserahkan ke saya. Juga untuk konsultasi. Adek mau konsultasi? Hmmm?”


“……”


Tanpa seijinku ia mengambal draft artikel di tanganku. Membacanya sekilas. Manggut-manggut.


“perlu direvisi. Kurang ngena padahal tema yang diangkat bagus sekali….. ah boleh aku pinjem handphonenya?”
Aku mencoba bersabar. Tapi kuulurkan juga handphoneku padanya. Kak Dirga menekan-nekan keypad dengan cepat. Kemudian mengembalikan ke aku.


Tidak lama ada sms di handphoneku. Nomor tak dikenal Sms dengan emot :D.


“itu nomerku dek. Kalau butuh untuk sharing atau konsultasi….. hubungi aja saya….”


“iya”


Cuek. Aku mengambil kembali draftku. Dalam hati aku sebel. Sok pede, sok cool, dan sok lainnya berkelebatan dikepalaku.


*****


Aku tidak tahu. Mungkin sejak pertemuan singkat kami di basecamp. Handphoneku penuh dengan pesan singkat dari kak Dirga. Mulai dari menanyakan hal-hal tidak penting, hingga gombalan-gombalan garing yang membuatku mengerutkan kening. Tidak mengerti maksudnya. Juga mulai mengantar jemput aku ke sekolah. Seringkali menemaniku makan siang di kantin. Terkadang membawakanku juga sebatang coklat. Dan dia memberiku sesuatu yang manis. Sebuah kalimat. Ami Tumi Valo Vasi. Sebuah kalimat yang nanti membawa sejarah panjang tentang makna pencarian.


Aku tidak tahu. Rasanya ada semacam perasaan asing yang menyenangkan. Tumbuh di sanubari. Menggelitik. Dan meletup. Pletok pletok. Kak Dirga. Ia…..


Ia mulai tampak istimewa dengan tingkahnya yang menyebalkan.


*****


“Dek……”


Kak Alan masih didepanku dengan wajah prihatin. Sedang aku? Menangis. Bukan. Tidak. Aku tidak menangis. Aku hanya mengeluarkan airmata hebat. Sampai-sampai kemeja sekolah dan poniku kuyup terkena airmata. Rambutku acak-acakan. Wajahku sembab. Mataku, pipiku….. merah.


“Aku sudah tau Dek. Dirga kan? Iya? Aku sudah tau…..”


Aku tidak menjawab. Dalam hati aku berteriak. Tapi aku tak bisa. Kak Alan menarik napas.


“ngga papa. Udah ngga papa Dek. Keluarkan semua yang masi nyesek…..”


“tapi harus janji ya? Habis ini jangan mewek lagi karena laki-laki.”


Aku menengadah. Menatap kak Alan. Dia tersenyum lebar, aku juga.


*****


Sekarang aku tak mau tahu dengan Kak Dirga. Aku tidak peduli. Entah itu dia kecelakaan, sakit atau apa. Aku tidak peduli. Apa dia mempedulikan aku. Tidak kan? Setiap kali berpapasan di lorong sekolah aku memalingkan muka. Lebih tepatnya aku menyembunyikan wajahku darinya. Karena aku tahu. Kak Dirga tidak pernah benar-benar melihatku. Ia melihat gadis lain di wajahku.


*****


“Dek…….”


“Hmmm…….”


“Adek nanti kepengen kuliah dimana?”
Aku berpikir. Mengedikkan bahu. Disana Kak Alan masih melihatku yang bengong mikir


“Nggak tau Kak…..”


“Nggak tau ya? Hmmm kenapa ngga ke jogja aja?”


Aku terperangah. Lalu kembali badmood lagi.


“Emang bisa? Emang aku bisa Kak? Aku bisa sekolah sampe SMA aja udah bagus”


Airmataku merebak lagi. Mengingat rumah, mengingat ibuk dan adekku


“Lho? Kenapa nggak? Bisa kuq. Bisa. Asal ada kemauan dan usaha. Nanti disana Kakak ambil jurusan kedokteran, adek Hukum. Nanti kalo kita udah lulus, Kakak jadi Dokter dan Adek jadi Dosen. Dosen Wanita Ahli Ilmu Hukum. Itu hebat banget Dek!”


Wajah Kak Alan begitu sumringah. Menceritakan cita-citanya tentang aku.


“Emang aku bisa Kak?”


Ucapanku begitu lirih, hingga Kak Alan tidak mendengarkannya….


*****


Siang ini aku duduk gelisah di bangku kantin. Menunggu seseorang. Ah itu dia. Kak Dirga dengan wajah kusutnya. Dia duduk di depanku. Aku juga tidak mengerti. Kenapa aku bersedia memenuhi ajakannya untuk bertemu dikantin
selepas jam sekolah.


Aku menghela napas.


“Dek, maaf. Mungkin sekali ini aku perlu berbicara dengan adek……”
Kemudian rangkaian kalimat mengalir dari bibir Kak Dirga. Permintaan maaf, menjelaskan semua, tentang aku, tentang dia. Tentang hal yang tidak bisa disampaikan, tentang kesempatan berikutnya…..
Aku terdiam lagi. Kak Dirga? Kenapa kamu tidak berterus terang? Tapi hanya tercekat di tenggorokan.


*****


Jogja….
Kota itu terasa begitu manis di telingaku. Aku dan kak Alan belajar rajin. Lebih keras. Lebih keras. Aku tidak peduli. Yang aku tahu aku ingin kuliah disana.


Merajut mimpi dengan Kak Alan. Bahwa nanti kita akan kuliah bersama, jalan-jalan malam, beli buku di pasar loak, pulang kampung barengan…… dan nanti dia menjadi dokter. Aku menjadi dosen.
Padahal hanya angan-angan. Tapi sudah sanggup menerbangkanku jauh. Mungkin hidup haruslah sempurna seperti itu.


 Tak apa. Otak remajaku sudah terlanjur bahagia.

*****

Ah lelaki itu

Masih setia menatapku yang menunduk malu-malu. Alunan music jazz di café, warna lampu yang hangat keemasan, genggaman tangannya. Kakiku bergerak gelisah dibawah meja.

“Anyelir…..”

Aku mengangkat wajahku. Tapi disana dia malah tertawa.

“Sudah sudah! Ngga ada yang lucu!”

Tapi aksi marahku gagal. Ujung-ujungnya aku juga tertawa.

“Sadar nggak kamu?”

“Sadar apa?”

“Kalo kita nggak marahan, nggak perang dingin selama tahunan…… kita nggak akan seperti sekarang. Duduk rukun di meja café, ngobrol tentang masa depan, tentang harapanmu akan aku. Tentang kita…..”

Aku tercenung. Mengiyakan ucapan lelaki didepanku.

“Apa kita dipermainkan takdir ya?”

Aku berkata hati-hati sambil menarik tanganku dari genggamannya. Ah, dia tertawa lagi. Dan aku manyun. Dalam hati berteriak, puaskanlah tawamu sekarang bang!

“Kalaupun kita dipermainkan takdir memang kenapa? Toh tanpa permainan takdir kita tidak akan pernah tahu. Selama bertahun-tahun kita mencari seseorang yang saling mengisi diri kita. Iya kan? Aku pun juga. Di jogja, dimanapun aku bepergian aku tak pernah menemukannya. Yang ada, ketika aku kembali kesini. Melihatmu. Mengingatmu. Marahmu, senyummu. Kamu yang mencoba mengerti apa yang aku utarakan. Padahal kamu tidak ngerti samasekali. Kamu yang lebay, kamu yang ceriwis…… “

“…….”

“seseorang sepertimu yang aku mencarinya kemanapun. Tapi tidak pernah kutemui. Kecuali kamu. Dirumahku. Ditanahku sendiri. Di masa putih abu-abu yang berputar terbalik seperti arus flashback. Kamu yang sekarang duduk didepanku…..”

Pipiku merona lagi. Panas. Ya ampuuuuun!!!!!

“aku juga heran. Setelah bertahun-tahun perang dingin…..kita duduk disini. Kasmaran pula. Hahahahaha abis aku juga ngga nemu laki-laki nyebelin seperti kamu. Yang dulu hobi banget bikin galau. Putus nyambung putus nyambung. Emang saklar lampu?”

“hahaha…….”

Tawa renyah berderai diantara aku dan dia.

“Gimana kabarnya Alan?”

Aku terdiam lagi. Menarik napas.

“Aku tidak tahu. Sering banget pindah dari kota ke kota. Terakhir kali dia menelepon, Kak Alan sedang berada di Aceh. Meliput tentang Pantai Meulaboh. Ya maklumlah. Kerja di bidang penyiaran harus rela pindah-pindah gitu. Jadi reporter TV. Kata Kak Alan itu passion yang selama ini dia cari……”

“Hidup emang penuh kejutan. Aku ngga nyangka aja kamu dan Alan saudara sepupu. Tau gitu dari dulu aku minta tolong ke Alan. Buat jelasin semua. Hal yang bikin kita perang, jadi kita nggak perlu kayak dulu. Alan juga kenapa ngga bilang? Kamu ini adeknya? Walau Cuma adek sepupu?”

“Ya wajarlah. Aku kan adek kesayangan. Ga rela disakiti laki-laki macam kau bang!”

Aku tertawa.

“Setelah kelulusan? Apa yang terjadi sama Alan? Dari dokter pindah haluan jadi broadcaster?”

Aku menarik napas lagi.

“Kak Alan gagal ke kedokteran. Kemudian kuliah di broadcasting. Eh sekarang dia jalan-jalan kemana-mana gara-gara jobnya jadi reporter TV. Akupun juga. Gagal di hukum malah terdampar di ekonomi. Rencana jogja juga gagal. Aku dan Kak Alan gagal total. Tapi malah menemukan takdir  yang lain….”

Lelaki di depanku tersenyum.

“kok malah kamu yang di jogja! Lulus Kuliah malah ngga pulang. Betah disana mentang-mentang udah punya café gaul. hmmmm”

Aku memukul bahunya pelan.

“Memang kenapa kalo aku yang di jogja? Disinipun kamu juga bahagia. Udah  kerja dikantor audit keuangan, lulus kuliah tepat waktu, punya bisnis spa sama ibuk, punya aku yang pengusaha cafe. Hahahahaha”

“Dirgantara, kamu tidak berubah…..”

“Memang kenapa?”

“Penuh kejutan dengan caramu yang menyebalkan. Aku masih ingat masa kita SMA. Ami Tumi Valo Vasi menjadi populer saat aku benar-benar membencimu. Ada dimana-mana. Mulai dari puisi, lagu….. semuanya!!!!!”

"Tapi tanpa itu, kita tidak akan pernah menjadi begini. Karena kita nggak bakal tau. kapan kita akan kembali. ngerti?"

aku terdiam. tangan dirgantara merambat diatas meja. menggenggam jemariku pelan.

"Ami Tumi Valo Vasi"

meluncur pelan lirih dari bibir Dirgantara. kalah kencang dengan alunan lagu Fly Me To The Moon-nya Frank Sinatra yang diputar di cafe. tapi aku masih bisa mendengarnya. tapi hatiku masih bisa merasakannya. Seperti alunan Deja Vu akan masa lalu, seragam putih abu-abu, dan hal mengenai dunia dimana aku belum mengerti akan adanya hitam dan dosa. hanya ada abu-abu disana

Baru sekali ini aku merasa bahagia dipermainkan takdir.



Ami Tumi Valo Vasi*
(Karena Kita Tidak Tahu, Kapan Kita Akan Kembali)


*) Aku Cinta Padamu

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: