Catatan Kecil tentang Dia [Cerpen]

01.09 0 Comments


Jika ada yang bertanya bagaimana aku bisa menikah dengan lelaki seperti itu aku hanya tersenyum. Tidak pernah menjawab, tidak pernah menanggapi kecuali senyuman kecil. Aku tahu mereka sering berbicara tentang aku dan lelakiku. Tapi aku cuek.

Dipikiran banyak orang pasangan adalah satu laki-laki dan satu perempuan. Dipikiran orang-orang minoritas, dua orang sejenis juga merupakan pasangan. Biasanya mereka dipersatukan karena memiliki kesamaan latar belakang, hobi atau gaya hidup. Tapi aku dan dia sama-sekali berbeda.

Aku perempuan yang keras, dingin, manajer kantor jasa konsultansi yang sehari-hari bergelut dengan analisis, presentasi, tender dan klien. Sedang dia? Pengusaha restoran dan café yang sehari-hari bergembira. Dengan gaya nyentriknya, vespa modifnya juga kacamata hitam rollingstonenya.

Itulah mengapa banyak orang melihat kami pasangan yang aneh dan nggak nyambung. Dita temen sekantorku berkata, apakah aku menikah dengannya karena dia adalah orang yang mapan diusia muda? Aku tertawa, sedikit kesal. “Waktu menikah dengannya aku lebih kaya dari dia!”



 “lantas?” kejar Dita

“Rahasia!” aku tertawa. dita manyun.

Oke kuakui. Sekarang dia memang kaya. Akupun kalah. Tapi aku menikahinya bukan karena harta. Awal-awal menikah dia hanya punya sebuah café mini di dekat taman kota. Penghasilannya pun tak seberapa. Tapi karena keuletannya, cefe itu sekarang menjadi café besar yang terkenal di kota kami. Ide-ide segarnya yang mendorong perkembangan café tersebut. Dia mengubah sudut pandang orang lain tentang café yang hanya tempat sebatas nongkrong menjadi tempat berkumpul keluarga. Ia membangun gazebo-gazebo kecil, bangku dari bonggol kayu jati sebagai tempat duduk bagi pengunjung yang ingin bersantai secara outdoor, dan perpustakaan lesehan kecil di bawah puhon jambu sebelah barat cafenya. Ada lagi yang menarik. Dapur café terletak di tengah-tengah café. Segala akitifitas ala chef pun menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Jika malam telah tiba, lampion-lampion mungil menjadi kunang-kunang di café kebun miliknya. Ia cukup sukses mengembangkan cafenya. Ia juga cukup sukses membuatku cinta padanya.

Pertemuan pertama kami juga biasa saja.

Diawali dengan patah hati.

10 tahun yang lalu, aku pernah mencintai seorang laki-laki. Laki-laki yang pendiam namun begitu baik. Cinta ini bertahan cukup lama. Terbalut persahabatan. Aku menunggunya berkata ’I love you…..’ namun kata-kata itu tak kunjung hadir. Aku memberanikan diri untuk mengaku padanya. Tapi belum sempat aku mengatakannya, ia keburu mati. Tak perlu kuceritakan mengapa ia mati. Yang jelas aku tak ingin membicarakan kematiannya. Titik.

Hari-hari selanjutnya menjadi gelap

Kemudian dia datang. Dengan gaya humornya yang khas ia mendekatiku. Aku acuh. Dengan gombalannya yang basi, ia mendekatiku. Aku acuh. Dengan semua yang ia miliki ia mendekatiku. Aku masih acuh. Tapi dia tidak menyerah.

Waktu meluluhkan egoku. Aku mulai sering menghabiskan akhir pekan dengannya, bercanda, berbicara, memasak di café kecilnya. Bisa dikatakan kami dekat sekali. Dia bilang dia mencintaiku, aku hanya tertawa. tidak menanggapi. Tapi kemudian dia menarik tanganku, menggenggamnya kuat. Berbicara. Katanya aku tidak perlu memaksakan diri membuka hatiku padanya. Katanya aku tidak perlu mengusir nama dia yang sudah mati, katanya apapun siapapun yang pernah tinggal dihatiku tak berniat untuk dia gantikan. Aku tidak bisa menjawab. Hanya mengangguk kecil. Kebesaran hatinya yang memberiku kekuatan untuk mengiyakannya.

Saat bersama dengannya aku masih sering merindukan dia yang sudah mati. Namun lelaki nyentrikku dengan senyum yang hangat selalu menyempatkan waktu untuk menndengarkanku bercerita tentang dia yang aku rindu. Dia begitu sabar. Mungkin aku perempuan kejam yang menceritakan hal seperti itu kepada lelaki yang memiliki hubungan khusus denganku. Mungkin aku telah menghancurkannya sedikit demi sedikit. tapi itu semua tidak mengubah perasaannya padaku.

Maka perasaanku pun luluh. Entah cinta, entah perasaan aneh yang tak taulah aku namanya apa. Lambat laun aku menerimanya secara utuh karena membiarkanku mengenang masalalu. Tanpa marah-marah tanpa perasaan cemburu. Ia merawatku demikian baik. Hingga akhirnya aku sadar. Dia yang sudah mati kini hanya menjadi sekedar menjadi kenangan manis tanpa menyisakan satu kepahitanpun. Lelakiku itu. Jangan kau tertawa mendengarkanku! Aku mutlak mencintainya.

Hari-hari selanjutnya menjadi berwarna-warni. Dia mengajakku jalan-jalan, naik vespa modifikasinya, menceritakan anekdot-anekdot lucu, memasakkan makanan untukku dan banyak lagi. Tak lama kemudian kami menikah.

Aku tidak tahu apakah ini berkah atau keajaiban. Kami yang berbeda dan nggak masuk akal bisa menikah, hidup satu rumah. Aku tertawa. aku yang perempuan sering tugas keluar kota, sedang dia yang laki-laki sering berada dirumah untuk mengurusi café yag tidak lagi kecil. Ketika aku dirumah tertidur gara-gara sibuk membuat rancangan analisis keuangan sedang jam sudah berdentang sebelas kali, dia dengan geleng-gelang kepala mengangkatku dan membawaku ke kamar tidur. Menyelimuti, mematikan lampu, dan mengecup keningku. Dan pagi harinya ketika aku bangun kesiangan aku sudah menemukan rumah dalam kondisi yang rapi, sarapan terhidang di meja makan, Dan dia, lelaki nyentrikku itu sibuk baca Koran. Aku terharu. Mendekatinya dengan daster tidur,mata penuh belek dan rambut awut-awutan. Memeluknya dari  belakang. Ah dia tidak menanggapi. Aku mempererat pelukanku Tapi itu tidak lama. Memandangku dan bilang, “Sayang, dirimu bau naga…….”

Sering, diakhir pekan ia mengejutkanku dengan rencana gilanya. Jumat sore ia menjemputku di kantor tidak dengan mobil kami sendiri. Ia membawa van berwarna merah jambu! Dengan kacamata hitam rollingstonenya, dibalik kemudi ia nyengir kuda. Aku bengong sesaat. Speechless! Tapi secara tidak sadar aku melompat dan menghambur kepadanya. Teman-teman kantor tertawa melihat aku dan dia. Hari itu juga ia membawaku mbolang. Aku marah! Bayangkan dengan blazer, rok dan sepatu pantofel ia mengajakku keluar kota. kesuatu bukit dibawah kaki gunung. Sepanjang perjalanan penculikan itu aku terus menggerutu. Dia hanya bersiul-siul riang. Tapi sekali lagi ia tetap pria ajaibku. Ia membawakanku baju ganti dan membawa serta perlengkapan barbekyu andalannya. Malam itu kami menginap diluar rumah. Kami tidur dibawah langit beralaskan matras dan sleepingbag setelah sibuk berdebat rasi bintang mana yang paling indah. Keesokan paginya dia sibuk memasakkan steak untukku. Dan aku dilarangnya untuk membantu. Katanya hari ini full penuh pelayanan untukku. Kami pulang kerumah dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan.

Mungkin diluar kami seperti orang asing yang berasal dari planet yang berbeda galaksi. Aku yang dingin, datar, keras dan kaku. Dia yang hangat, ramah dan garing. Mungkin dunia kami seperti siang dan malam berbeda jauh. Tapi seringkali manusia tidak sadar. Diantara siang dan malam ada senja dan fajar. Dimana matahari akan tampak lebih lembut dan kegelapan tak lagi menakutkan. Mungkin kami harus berbeda agar kami dapat memaknai arti kehadiran kami sebagai hati yang saling melengkapi.

*****

Aku tergeragap, diluar sana lelaki nyentrikku sudah menjemputku dengan vespa modif kesayangannya. Klaksonnya memekik keheningan kantorku. Aku menarik napas, menenteng tasku dan berjalan keluar kantor. Sinar matahari sore menyorot kemasan. Di bawah pohon palem, si dia menungguku sambil tersenyum. Aku duduk miring di boncengan skuternya. Meyandarkan kepalaku ke punggungnya dan melingkarkan tanganku di pinggangnya. Ia tertawa. vespanya menggeram dan bergerak perlahan.

Mungkin cinta haruslah sederhana seperti ini. tanpa pertanyaan, tanpa kesenjangan. Mengajarkanku bahwa berbeda akan membuat segalanya lebih berwarna. Kami berboncengan membelah jalan-jalan kota yang padat dengan bus, sepeda motor dan mobil-mobil yang merayap kepenatan.


Rumahku, 16 September 2012. 9.49 pm
By Azizah Pradnya Paramitha

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: