[Bukan] Perahu Kertas [Cerpen]

15.09 0 Comments

Ah ya, lelaki itu. Tiba-tiba tanpa kabar muncul di pintu rumahku pagi ini.

“Hai!” sapanya dengan senyum tertahan dibibirnya. Omegot!

Aku terkejut dengan kedatangannya. Sedikit melongo. Aku tidak tahu bagaimana penampilanku pagi ini. Seingatku aku baru bangun tidur dan belum mandi. Dia mengintip sedikit ke kedalam rumahku. Penasaran. Tubuhnya condong ke depan. Sedikit terbebani ransel di punggungnya. aroma wangi mint yang segar menggelitik hidungku. Mungkin itu parfumnya atau mungkin permen mint yang senantiasa dia kulum. Aku tidak tahu.

“Aku ngga boleh masuk nie dek?”

Aku tergeragap.

“Eh, oh. Boleh kok. Ayo masuk aja Mas. Maaf ya sedikit berantakan”

Mempersilakan dia masuk dan duduk di kursi tamuku. Aku memberesi majalah dan koran yang berserakan di meja. Gugup memang.Tidak menyangka dia datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku pamit mandi dan ganti baju. Dia hanya tersenyum. Duduk rileks di kursi dan mengamati perabotan di ruang tamu.

Di kamar mandi aku panik sendiri. Mengapa harus datang disaat yang tidak tepat begini? Guyuran air shower membantu menjernihkan pikiranku. Sudah berapa tahun? Sudah berapa tahun kamu hilang dan muncul lagi? Dan sekarang duduk manis di ruang tamuku? Tapi aku harus bergegas. Menyelesaikan mandi dan berganti baju.

Aku malu dengan penampilan kacauku tadi. Memakai setelan rok bunga dan blus  merah hati. Menyisir rambut panjangku dan menguncirnya ekor kuda. Berlari ke pantry dan membuatkannya kopi instan yang iklannya sering muncul di tivi. Aku menyeduh kopi tapi pikiranku masih berlari kesana kemari.

Dia masih duduk santai diruang tamu ketika aku membawakannya secangkir kopi. Tersenyum melihatku yang sudah rapi. Beda dengan tadi. Rambut semrawut dan memakai baby doll biru tua yang bergambar beruang madu.  Aku duduk dihadapannya. Ia memandangku lekat

“Apa kabar?” kami bertanya bebarengan. Kemudian tertawa. Ah masih sama seperti dulu.

Dia menyeruput kopinya. Pelan sekali. aku menunggunya

“Apa kabar, Adek?”

“Baik”

“Adek tidak berubah....”

“Oya? Hahaha. Mas darimana ngerti alamat rumahku? Aku baru setahun pindah kesini. Lagian mampir pagi-pagi banget dan ngga kasih kabar sebelumnya?”

“hahaha biar surprise lah. Lama ngga ketemu adek. Sudah berapa tahun ya?”

“Dua tahun. Mungkin lebih. Mas kemana aja?”

Mas Ikhsan, lelaki yang duduk diruang tamuku itu terdiam. Menghela napas.

“Mas pergi kemana mana. Dimana mas maupergi, disanalah mas ada. Nggak perlu dijelaskan Dek”

Rautnya mendadak sedih. Aku mengurungkan diri untuk bertanya lebih lanjut. Suasana hening. Mas Ikhsan mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dan menyilipkannya di bibirnya. Mengembuskan kepulan-kepulan asap kecil. Aku diam saja. Mas ikhsan dan rokok adalah dua benda yang berasal dari dimensi berbeda. Tapi kini? Aku melihatnya begitu akrab dengan lintingan tembakau itu. Ada apa? Aku bertanya dalam hati. Sebatang rokok sempurna terbakar. Putungnya ia jejalkan di asbak meja tamu.

“Kita bisa keluar Dek?”

“Hah keluar? Kan mas baru dateng? Mau keluar kemana?”

“Kita nyari sarapan dek. Udah lama aku pergi. Sekarang aku pengen liat kota kita kayak gimana. Lagian adek juga belum makan kan?”

“Oke deh”

Dia tersenyum lebar. Nyengir lebih tepatnya.

*****

Aku menghentikan VW beatle merah yang kukendarai di parkiran pujasera outdoor di kota kami. Mas ikhsan tampak begitu senang. Ia membeli apapun yang ia mau. Permen karamel, gulali, rambutan aneka jajan pasar dan lainnya. Aku sampai geleng-geleng kepala. Sedikit malu dengan para penjual yang tersenyum melihat Mas Ikhsan yang begitu antusias dengan berbagai panganan yang dijajakan. Pujasera sabtu pagi ini tidak begitu ramai. Jadi kami bisa leluasa untuk berjalan-jalan. Dan ah! Tawa mas Ikhsan yang nyaring dan renyai kembali kudengar. Rautnya begitu bahagia dan berbinar.

Ia mentraktirku nasi rames dan banyak lagi. Kami memilih tenda yang teduh dibawah pohon kenari. Membuka kotak nasi dan makanan kecil kami. Menikmati sarapan pagi. Berbicara banyak tentang kehidupan selama ini. Aku dengan pekerjaanku dan mas Ikhsan dengan banyak petualangannya. Aku yang lebih sering mendengarkannya bercerita. Tentang kehidupannya yang sekarang jungkir balik, semrawut dan acakadut.

Aku mendengarkannya. Tanpa menyela, tanpa bertanya. Tiba-tiba mas Ikhsan menghentikan ceritanya. Menatapku dalam.

“Adek, apakah Mas berubah?”

Aku diam saja. Menunduk. Menyadari mas Ikhsanku berubah drastis dan terlalu banyak.

“Adek, Mas tuh nggak pernah berubah.Tampilan doank yang berubah dek. Tapi yang disini......” Mas Ikhsan menunjuk dadanya sendiri.

“Tetep Ikhsan yang dulu. Ikhsannya Adek......”

Aku diam saja. Menyeruput es tehku. Apa maksudnya?!

“Kalo aku mas?” aku ganti bertanya.

“Adek ga pernah berubah. Sejak awal kita ketemu sampe sekarang adek tetap sama. Makanya aku kembali pulang kesini. Nyari adek, sharing sama Adek seperti dulu. Aku merasa aku kehilangan Ikhsan yang adek kenal. Banyak perjalanan yang membuat aku berubah gini. Adek ngertikan?”

“Aku berubah kuq”

“Apanya?”

“Aku jadi tambah gendut sekarang....” Kelakarku mencairkan suasana. Mas Ikhsan tertawa lebar.

“Lagian kalo manusia berubah itu wajar kali mas. Gak hanya Mas yang berubah. Aku juga. Justru kalo tidak ada perubahan, dia berarti bukan manusia. Karena apa? Manusia dikaruniai akal pikiran. Dan nggak akan pernah puas akan keadannya sekarang. Membuat perubahan-perubahan dihidupnya. Entah penampilan, cara pandang atau yang lain......”

Mas ikhsan tertawa lagi melihat tampang seriusku yang nyerempet sewot.

“Tuh adek tetep sama kayak dulu. Tetep cerewet, ngomong absurd tapi ada benernya juga”

Aku nyengir. Diam-diam aku mengamati mas Ikhsan. Kulitnya yang dulu bersih sekarang kecoklatan terbakar matahari. Mengenakan skinny jeans, sandal gunung dan sweater abu-abu. Terlalu modis bagi ukuran mas Ikhsan yang dulu sering memakai celana kain dan kemeja sederhana. Dulu mas Ikhsan tipikal anak mesjidan, tapi sekarang anak muda metropolitan. Dulu mas Ikhsan tenang. Sekarang? Hmmm..... begitu beda jauh dengan mas Ikhsan yang dulu. Tapi ada satu yang tidak berubah. Sorot matanya ketika menatapku. Masih sama seperti dulu.

“Oya dek. Adek sekarang sama siapa? Masih sama si Banyu?”

“Masih.”

“Awet bener dek? Wkwkwkwk”

“Namanya juga udah klop. Susah pindah lain hati. Hahahaha”

“Mang Adek serius sama Banyu?”

“Serius. Tahun depan kita mau nikah”

Muka mas Ikhsan sedikit shock. Pucat.Mulutnya membuka sedikit. Aku tertawa. Dia juga tertawa.

“Serius Dek?”

“Sure! Banyu udah nemui bapak sama ibuk. Mas ini?!”

“Tapi Banyu sama Mas kan, gantengan Mas dek?”

“Tapi Banyu mendewikanku. Menjadikan aku dewi. Hahahahaha emang Mas sanggup?”

“Hahahahaha skakmat. Mati aku dek.....” tawanya lebar. Tak sanggup mengimbangi argumenku.

Suasana hening lagi. Mas ikhsan menghabiskan rambutannya. Kotak nasi kami sudah kosong tak berisi.

Kami diam. Tidak tahu apa yang harus dibicarakan lagi. Aku melirik jam tanganku. Sudah hampir tengah hari. Dan aku ingat ada janji dengan Banyu yang menungguku di rumahnya.

“Mas udahan yuk. Aku ada janji sama Banyu....”

“Kenapa dek? Mas kan datang jauh-jauh kesini? Ayolah temenin Mas sampe sore.....”

“Bukannya ngga mau. Tapi ga bisa. Aku ada janji sama Banyu. Dia udah nunggu lama lho....”

Raut mas Ikhsan sedikit kecewa. Tapi iaberusaha menyembunyikannya dariku. Tersenyum walau kecil. Mas ikhsan bangkit dan menyandang ranselnya.

“Ya udah. Yuk kita kemon. Tapi anterin Mas ke stasiun ya?”

“Iya. Kok ke stasiun? Mas mau kemana?”

“Mau ngelencer lagi. Hehehehe”

“huuuuuu”

Mas Ikhsan tertawa melihat bibirku manyun.

“Tapi hari ini Mas seneng banget dek.Seneng banget! Bisa makan, jalan-jalan sama adek, berburu jajanan. Walau dikasih waktu seharian nggak akan pernah cukup buat Mas. Makasih ya Dek. Salam buat Banyu.....”

Ia tersenyum. Aku juga

*****

Mas Ikhsan turun di stasiun. Ia melambaikan tangan. Aku membalas lambaiannya.

VW Beatle marahku menderum perlahan. Meninggalkan mas Ikhsan sendirian. Masa lalu menyeretku pada kenangan-kenangan dimana aku dan mas Ikhsan masih menjadi satu dalam makna yang lugu. pada perasaan murni yang mewarnai masa putih abu-abu. Pada cinta, pada mimpi, pada obsesi. Pada perasaan yang tidak sempat diungkapkan. Tapi sekarang tak berbekas dan hilang

Tapi hidup harus berjalan maju. Bukan tertinggal pada masa lalu.

Aku bukan Kugy. Mas Ikhsan juga bukan Keenan di novel perahu kertasnya Dewi Lestari. Masa lalu hanya sekedar sejarah dan relief indah yang digambarkan pada pohon kenangan. Hanya bisa diraba tapi tak akan bisa kembali larut didalamnya. Aku sudah menemukan perahuku. yang membawaku berlayar dan memberiku bahagia. Bukan mas Ikhsan yang dulu aku damba namun sekarang begitu berbeda rasanya. Melainkan Banyu. Lelaki kocak lucu yang diam-diam dengan kesabarannya menghanyutkanku

Di spion mobil bayangan mas Ikhsan mengecil. Pudar. Dan hilang. Berganti trotoar, pedestrian dan aspal yang terbakar. Ada kelegaan tersendiri dihati. Aku harus bergegas menemui Banyu. Menemui bahagiaku.

Mas Ikhsan, temui bahagiamu. Untukku =)

Javas Camp. 10.15 am.12 April 2013

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: