The Daster's Origin [Cerpen] [Canda]

01.55 , 0 Comments

Menurut kabar burung (silahkan dipilih sendiri mau burung yang mana, sesuaikan saja dengan minat dan jenis kelamin masing-masing) yang beredar, ada dua versi tentang asal usul terciptanya daster.

Versi Jaman Raja-Raja Majapahit

Once upon a time, konon, dahulu kala, mbiyen, di sebuah kerajaan antah berantah. Ada seorang raja yang memiliki selir yang jumlahnya lima kali lipat dari semua jari yang dimilikinya (ga usah repot-repot ngitung, kayak ga punya kerjaan aja…). Sebagai seorang raja yang baik dan benar serta taat pada kedua orang tua, maka sang raja dituntut untuk memberi contoh akan apa itu kemampuan dan keadilan untuk dijadikan tauladan bagi rakyatnya. Sang raja harus mampu berbuat seadil-adilnya pada semua rakyatnya, terutama pada semua selirnya. Jika hanya untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Sang raja tak perlu risau, ada kementrian transmigrasi yang mengurusnya…loh, kok…..sudah kubilang jangan dipusingin….lanjut…

Tapi untuk memenuhi kebutuhan rohani semua selir yang untuk menyebutkan namanya saja raja harus meminta bantuan SekPri kerajaan untuk membuka buku catatan “garis-garis besar daftar nama selir”, raja sangat kewalahan. Bukan kewalahan dalam hal cara dan tehnik permainan, namun bagaimana memanage pembagian durasi waktu yang singkat namun padat, dan sama rata. Raja dituntut harus mampu membagi waktu antara tugas pengelolaan negara dan tugas mulia pemenuhan hajat. Dalam semalam ia harus melayani minimal 7 orang selir. Masing-masing selir mendapat jatah waktu 15 menit untuk satu kali akrobatik. Jatah waktu yang singkat ini musti digunakan semaksimal mungkin. Lupakan foreplay, flirting ataupun sekedar menarik nafas, ini akan kian mempersempit waktu. Lakukan dengan cepat, sigap dan terarah sehingga tujuan mulia tercapai. Namun sayangnya, selama ini yang menjadi kendala utama dari pemenuhan hajat sang raja adalah pakaian yang dikenakan si selir sendiri. Untuk membuka pakaian saja yang dimulai dari acara pelepasan stagen yang panjangnya naudzubillah sebelum akhirnya melepas yang lain-lainnya…, selir memerlukan waktu kira-kira 5 sampai 7 menit, bayangkan saja bagaimana “melakukannya” dengan limit waktu yang tersisa, masak sekali celup langsung udahan (bayanginnya jangan sambil merem, wakaka….), ini sangat membuat raja sungguh-sungguh tak nyaman.

Atas saran dari penasehat istana, akhirnya raja membuat sayembara yang ditujukan untuk semua penduduk kerajaan. Barangsiapa yang bisa menemukan, membuat dan memperagakan model pakaian yang simple, ringan dan nyaman, yang untuk melepaskannya hanya memerlukan waktu tak kurang dari semenit. Maka akan mendapatkan tropi, medali dan imbalan tanah seluas lima hektar lengkap dengan sapi, kerbau dan rumput-rumputnya dari sang raja. Singkat cerita, salah seorang penduduk berhasil menemukan model pakaian yang diinginkan raja, yang kemudian hari diakui sebagai cikal bakal dari lahirnya baju daster.

Versi Pra Kemerdekaan

Ketika jaman Renaissance melanda eropa, para wanita miskin melayu di Indonesia, sudah tak mampu lagi mengenakan kostum layak seperti kebaya encim, kain dan konde (apa hubungannya jaman Renaissance sama konde wanita melayu??… Auk ah gelap…). konon ketika imperialisme dan kolonialisme menjajah ranah pertiwi, mbah buyut dari mbah buyutnya kita hanya mampu membuat dan mengenakan satu model pakaian saja. Itu semua akibat dari penindasan yang tak ada habisnya. Model pakaian yang mereka kenakan itu merepresentasikan tiga hal akan keadaan yang berlangsung saat itu yaitu:

Kemiskinan : karena bahan pakaiannya pada umumnya terbuat dari karung goni.

Kebodohan : tak perlu designer hebat untuk membuatnya, orang bodoh dari yang paling bodohpun bisa, karena hanya perlu melubangi bagian atas untuk leher, dua sisi kiri dan kanan, dan bagian bawah dibiarkan terbuka.

Ketertindasan : bahan pakaian itu sering mengakibatkan masalah bagi pemakainya, karena memberi ruang pada semua aneka jenis penyakit kulit, mulai dari iritasi, panu, kadas, kurap, bahkan borok karena kebanyakan digaruk. Sedang penguasa saat itu tak menyediakan fasilitas kesehatan bagi pribumi, haram hukumnya bagi pribumi miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan yang murah apalagi gratis (kayaknya sampai sekarang….ups). itu semua adalah bentuk nyata dari ketertindasan.

Jika begitu, berdasarkan tinjauan ketiga aspek memilukan diatas….lalu mengapa sampai sekarang ….jaman reformasi….model pakaian yang kemudian hari kita kenal sebagai daster itu, justru masih eksis, berkembang dan bahkan menjadi trend dikalangan wanita pada umumnya dan ibu rumah tangga pada khususnya. Selidik punya selidik, bukan karena kenyamanan saja yang mereka cari, tapi nilai history dan kenangan yang ada dibaliknya. Ini menjadi semacam rendevouze yang mengharu biru, tentang betapa memilukannya kala itu. Dan lambat laun kenangan itu menjadi kilas balik yang indah, yang kelak akan diceritakan pada anak cucu.

NB: versi pertama maupun kedua tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, semua di serahkan kepada pembaca. Boleh percaya disarankan tidak, karena absolutely ngawur, accidentaly lucu. haha

Namun, terlepas dari asumsi kedua versi diatas, tidak bisa dipungkiri daster bagi kebanyakan wanita Indonesia mempunya arti yang sangat penting. Daster tidak sekedar menjadi salah satu komponen kebutuhan sandang saja, tetapi juga merupakan pertegasan akan identitas diri dan identitas kebangsaan. Dalam daster (dalam konteks intelektualitas bukan cabulitas) kalian akan menemukan sedikitnya tiga hal, yaitu nasionalisme, fanatisme dan erotisme. Silahkan jabarkan sendiri, penulisnya keburu mupeng #plakkk


Pengguna daster terbesar didunia adalah di Indonesia, ini merupakan kebanggan tersendiri kawan. Pernahkah kalian melihat Angelina jolie beraksi mengendap-ngendap, bergulingan, jumpalitan dengan senjata otomatis di tangan, mengenakan daster?? Impossible……atau pernahkah kalian tahu Coco Chanel, designer kenamaan dunia, berjibaku dengan meteran dan jarum pentul untuk memotong pola daster??? Sangat tidak mungkin…..kalaupun ada bule memakai daster, aku curiga daster itu diimpor langsung dari Indonesia. Tapi aku yakin, artis sekaliber Azizah Pradnya Paramitha, Christine hakim, Jajang C. Noor atau pun Dian sastro, setidaknya sekali dalam hidupnya pernah memakai daster, bahkan mungkin sering. Daster adalah jenis model pakaian yang tak memili kasta, tak mengenal usia dan jabatan. Penggemarnya mulai dari remaja belasan sampai nenek-nenek uzur karatan, mulai dari buruh tukang cuci sampai selebriti. Dan semua hanya di Indonesia, aku pribadi bangga akan hal ini.

KENAPA PEMINAT DASTER 99% (yang 1 % bisa ditebak sendiri) KAUM HAWA???

Pertanyaan diatas terus terang mengganggu, sangat menggangguku, hingga membuat tidurku tak lelap, makanku tak lahap….alahhh lebay wakakak. Aku yakin alasan utamanya adalah karena daster identik dengan kaum wanita. Kaum adam tak kan mau mempertaruhkan reputasi kemaskulinannya hingga membuat jatuh harkat dan martabatnya sebagai makhluk perkasa, hanya gara-gara memakai daster. Bagi sebagian besar laki-laki, pakaian wanita adalah aib dan haram untuk dikenakan kecuali bagi bapak-bapak anggota ISTI (ikatan suami takut istri) yang terpaksa pakai daster saat lomba Agustus-an. Tapi….tahukah mereka, jika banyak bukti sejarah yang mencatat bahwa tak sedikit tokoh pria hebat dan besar dulu, pernah dan tak sungkan memakai pakaian wanita. Tengoklah Hector dan Achilles dalam epic peperangan “Troya” (tonton film Helen of Troy atau Troy), mereka dengan leluasa bertempur, bergumul dan bergulat dengan memakai rok. Atau lihatlah Leonidas dan para ksatria Spartan dalam “300”, William Wallace pria gagah perkasa bermata tajam dalam “Breaveheart” yang diperankan oleh Mel Gibson, Julius Caesar dengan longdress putih selututnya dalam film dengan judul yang sama dengan namanya, bahkan Hercules sang icon “kekuatan” dari yunani, dalam salah satu episodenya “Hercules and the Amazon Women” (agak lupa juga judul episodenya) juga memakai rok. Para tokoh tokoh besar itu tetap kelihatan jantan, maskulin, dan cowok banget gitcu..…dalam balutan busana wanita.

Lalu…ada apa dengan para pria jaman sekarang??? Atas nama emansipasi, kesetaraan, “equality” kata ustad Zainudin M.Z, harusnya merekapun tak perlu sungkan memakai daster hahaha
ADAB MENGENAKAN DASTER

Okelah, lupakan tentang tidak adanya kesetaraan gender dalam hal mengenakan daster. Penulispun pikir-pikir kalau harus pakai dipaksa pakai daster, kecuali untuk menyenangkan calon istri. (Penulis belum kawin, ehh.. menikah.. podo bae). Sekarang mari kita fokuskan untuk membahas topik yang lebih penting yaitu, tata cara dan adab mengenakan daster. Hasil yang aku dapat dari survey dan observasi bertahun-tahun, dengan mengerahkan segenap kemampuan jiwa, raga dan tatapan mata penuh nafsu (halahh). Mengenakan pakaian tidak hanya sekedar mengenakan saja, namun ada ilmu dan seninya, bahkan ada pantangan-pantangan yang tabu dilakukan jika itu menyangkut hajat hidup banyak orang. Wanita asia masih memegang adat ketimuran dengan teguh, jadi politely atau kesopanan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari hari, terutama dalam hal berpakaian. Meski tak dipungkiri, belakangan ini kesopanan mulai tergerus dan terlindas oleh roda-roda besi yang disebut “modernisasi” sehingga keberadaannya tak lagi mudah ditemukan di negeri tercinta ini. Namun, wanita sebagai tiang agama, tumpuan Negara dan pengemban utama panji kemulian perkembangbiakan, dituntut untuk tetap teguh menjaga adat ketimuran sekuat mungkin, hidup atau mati.….merdekaaa…..ups…hadeehhh

Kembali ke soal daster deh…. mengenakan daster tidak boleh serampangan, jenis dan model harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Ada hal-hal yang harus diperhatikan dan dihindari. Jangan sampai gara-gara daster, hubungan sosial anda jadi disaster. Berikut liputannya:

Bagi kalian ibu rumah tangga, kenakanlah daster seperlunya saja, pada sekali waktu saja dan pada waktu tertentu saja. Jangan coba-coba mengenakan daster mulai dari ayam jantan berkokok sampai berkokok kembali keesokan harinya, apalagi dengan daster yang sama. Aku yakin, Haqul yaqin…..jangankan suami anda, ayam jagopun akan enggan berkokok kembali (mosok bojone dipadakne pithik wkakakak).
Perhatikan cara duduk anda ketika mengenakan daster. Tahu tidak, jenis pakaian wanita yang memiliki lubang besar dibagian bawahnya, memiliki standar khusus dalam hal pengenaannya. Karena ini erat hubungannya dengan isi aurat sang empunya. Sedikit saja anda salah menekuk posisi kaki anda ketika duduk, maka tidak diperlukan kaca pembesar ataupun kaca mata 3 D untuk mengetahui isi ataupun warna dari daleman anda. Maka dari itu, waspadalah…..waspadalah….*ting*

Jangan mengenakan daster tipis dan transparan jika anda berencana untuk: belanja sayur diwarung depan, mengajak peliharaan anda jalan-jalan keliling kompleks, bergosip ria dirumah tetangga (bisa-bisa anda yang menjadi topik utamanya), atau sekedar buang sampah didepan rumah ketika dirumah tetangga depan pengajian bapak-bapak kompleks berlangsung….bisa kalang kabut pak ustadnya. Ingatlah, satu hal penting yang perlu digaris bawahi bahwa…..semakin tipis dan transparan daster yang anda kenakan ditempat yang tak semestinya, maka semakin besarlah sumbangan anda pada tajamnya grafik kriminalitas dilingkungan anda (kasian pak polisi, udah gaji ga seberapa, repotnya ga ketulungan).
NB: Jangan pakai daster ketika bulu ketiak anda gondrong! tidak ada estetika sedikitpun ketika anda pakai daster untuk pamer bulu ketiak yang ramai rumbai -halahh-

4. (asal ngitung hemm) Pastikan anda tidak salah tempat ketika menjemur daster anda. Jangan sampai anda menjemur daster di area jemuran tetangga sebelah, apalagi sampai lupa mengangkatnya, lebih tragis lagi jika tetangga anda adalah janda kembang tanpa anak. Tindakan ini rentan akan terjadinya “pertukaran” baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika itu terjadi, hanya ada dua kemungkinan terburuk yang akan anda terima, yaitu….mis-understanding dan missed call……loh, kok missed call???. Mari aku jelaskan, tapi maaf ini cerita agak dewasa dikit, hanya jika kalian berilmu tinggi yang boleh membacanya. Tapi bagi kalian yang untuk memakai celana saja belum mampu, sangat dilarang keras untuk membacanya.

Jika anda salah mengenakan daster tetangga sebelah, dan suami anda mengetahui itu. Maka waspadalah, karena hal ini bisa mengganggu stabilitas keamanan hubungan rumah tangga anda dengan suami anda (ya iyalah….masak dengan suami tetangga…). Ketika anda mengenakannya sebagai kostum pembukaan ketika hendak “begituan” dengan suami anda. Yang paling ditakutkan adalah, imajinasi kecil dalam otak suami anda adalah bergumul dengan tetangga sebelah, bukan dengan anda. Maka jangan salah, jika kemudian terjadi missed call-missed call mencurigakan dibelakang anda dikemudian hari. Bukan menakut-nakuti, hanya sedikit memberi peringatan agar anda lebih waspada pada imajinasi kecil yang ada dalam otak suami anda. ups...

Pakailah daster yang layak, meski bukan baru tapi setidaknya pantas untuk dikenakan. Jangan kerap mengenakan daster yang bulukan, yang sudah tak dapat dibedakan lagi warna kainnya kuning atau putih, merah atau pink. Yang lebih parah lagi jika itu mempersulit anda mengidentifikasi mana lobang untuk kepala dan tangan, karena kedua lubang dibagian ketiak sama besarnya. Jagalah reputasi suami anda, karena sebagian besar orang (termasuk saya) sering menilai seseorang dari pakaiannya.

Inilah sekelumit cerita tentang sepak terjang daster yang disusun selama kurang lebih 4 hari empat malam tanpa tidur karena terobsesi daster si calon istri (buka KTP), dan cerita ini dibuat berdasarkan fiktif belaka serta hiburan semata. Jangan dimasukkan hati apalagi dimasukkan kelainnya. SELAMAT MEMBACA…..eh, sudah selesai membaca ya…..hihihi… ^_^

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: