Kelak Kita Menikah Di Ranu Kumbolo, Ya? [Inspire]
Kamu harus menyisihkan waktu untuk jogging setiap hari, renang beberapa kali seminggu sebelum datang melamarku. Sebab aku tak ingin kita menjadi pasangan hidup dalam kukungan tembok dan atap gypsum. Hidup terlalu singkat untuk dilewati dengan pernikahan yang isinya hanya makan, senyum manis dan bersalaman.
Semoga kamu pendaki yang handal. Punya
otot kaki dan tangan yang pejal. Sebab aku ingin mengajakmu menikah di
Ranu Kumbolo. Berdua akan kita akrabi jalur Ranu Pani, melewati jalan
setapak yang batanya tinggal separuh itu. Mengenakan carrier dengan rain cover
warna seragam, hanya berbeda ukuran. Kita akan berjalan depan belakang,
kamu yang memimpin perjalanan. Sedang aku tetap saja tak hapal arah
jalan.
Penghulu kita adalah mantan pendaki yang
entah bagaimana justru menemukan takdirnya di KUA. Ia sudah membangun
tenda terlebih dahulu disana. Ditemani beberapa rekan kita yang rela
hari tenangnya diganti dengan keriuhan memasak sarden diatas kompor
parafin. Saat kita datang, mereka akan berjejer dengan kaus dan celana
lapangan. Beserta sepatu pendakian. Tak ada aroma parfum menyengat yang
menyapa hidung. Bau keringat hasil berjalan jauh memenuhi pembuluh.
Tidak akan kita temukan poles riasan catik dan dekorasi mewah. Burung
belibis yang berenang ditengah danau jadi satu-satunya hiasan tambahan.
Kau dan aku justru akan saling mengirim tatapan penuh sinyal, lirikan
berlapis senyuman. Memang pernikahan macam inilah yang kita inginkan.
Tak perlu waktu lama, hingga kau ucap “Saya terima nikahnya”.
Satu kali hela nafas, ringkas. Terbiasa mengakrabi alam membuatmu tak
kesulitan mengatur debaran. Sedang aku hanya menunduk, tak percaya bila
kini nama belakangmu sudah sah disematkan. Kita habiskan senja itu di
Ranu Kumbolo. Tanpa es buah, minus organ tunggal, tanpa hidangan mewah.
Tapi kau dan aku merasa inilah bahagia paling berlimpah. Saat kabut
mulai turun mengembuni tenda, kau pun mencumbui aku tanpa lagi takut
dosa.
Kelak kita menikah di Ranu Kumbolo, ya?
Selepas malam pertama, kau menggamit
tanganku melewati tanjakan cinta. Menertawakan mitos yang ada. Akan
sering-sering kita tengokkan kepala ke belakang. Toh sekarang kau dan
aku sudah tak terpisahkan. Lavender di Oro-Oro Ombo jadi saksi
kecup-kecup luapan kebahagiaan. Tanjakan selepasnya tak lagi terasa
memberatkan. Sudah ada lenganmu yang sanggup jadi pegangan.
Bila malam nanti kita tak terlalu lelah di Kalimati, tengah malam akan kubangunkan kau dengan harum roti bakar mentega.
Kita siapkan jiwa, untuk menghadang pasir di puncak tertinggi para dewa.
0 komentar: