Tanya Dua Hati [Cerpen]

22.49 0 Comments

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta.
(Sebuah Tanya – Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Selasa 1 April 1969)


Laki-laki mana yang tidak kagum padanya, sudah cantik, baik, lemah lembut dan murah senyum pula. Terkadang dia menunjukkan gigi gingsul-nya kepada orang-orang disekitarnya untuk merespon setiap percakapan. Tetapi jarang sekali dia berbicara, lebih banyak diamnya kecuali kepada seorang bapak tukang Siomai. Ah, kenapa aku terus memikirkan gadis itu?

Baiklah! Aku memang selalu kepikiran tentangnya, apa lagi sejak pertama aku bertemu dan berbincang dengannya. Kami sama-sama sering pergi ke taman depan Puro Pakualaman atau biasa warga Kota Jogja menyebutnya taman Pakualaman saja. Di taman itu aku sering duduk di bangku depan penjual Soto tepat di bawah pohon beringin besar. Aku selalu kesana untuk mendapatkan moment ketenangan dalam membaca setiap buku-buku yang berbau sastra dan politik. Ya, meskipun akan sedikit teralih oleh pasangan remaja atau sekelompok mahasiswa yang sering nongkrong dan makan di taman itu, aku tidak terlalu terganggu.



“Ini mbak Christine pesanannya, Siomai special kentangnya setengah. Monggo dipun sekeca’aken.” Kata bapak penjual siomai yang ada di taman itu kepada gadis itu.

“Ouh, nama gadis itu Christine ternyata.” Gumamku dalam hati sambil sedikit menolehkan kepalaku ke belakang karena bangku kami saling berlawanan. Meski aku juga bingung penulisan namanya seperti apa, Kristin, Christin, atau Christine?

Injih bapak, terima kasih.” Jawab gadis itu, ehm. . . apa aku harus menyebutnya dengan nama Christine ya? Baiklah, Christine saja, lebih keren.

Aku lalu membalikkan pandanganku sambil sekilas melihat Christine berdoa sebelum memakan Siomai special pesanannya sambil dia merekatkan kedua jari-jari tangannya dan kepalanya tertunduk. Ternyata dia seorang Nasrani. Setelah selesai berdoa kemudian dia memakan Siomai Spesialnya. Sebenarnya cara makannya biasa, tetapi entah kenapa terlihat sangat menarik bagiku. Dia selalu saja membersihkan bibirnya dari saos Siomai dengan menyapukan ujung lidahnya dari sudut kanan bibir atasnya ke sebelah kiri. Selalu saja seperti itu.

Setelah Christine selesai makan, dia membiarkan piring tetap di meja, aq menggeser posisi dudukku ke ujung bangku sehingga dapat melirik Christine. Dia lalu memasang headset dan mulai meneka-nekan handphonenya. Dia menggelengkan pelan kepalanya sambil seolah-olah menikmati musik yang dia mainkan.

“. . . I’ll be sitting and I’ll be waiting for you, cause all this thoughts and all this hopes will go blue. . .” Christine menyanyi lirih tapi masih terdengar telingaku.

Aku sangat mengenal syair lagu itu. Honeymoon on Ice, itulah judul lagunya. Lagu itu merupakan lagu dari band indie The Trees and The Wild. Jarang sekali aku menemukan seseorang yang memasukkan lagu itu ke playlist-nya. Aku hanya tersenyum sambil melirik Christine yang masih menyanyi lirih sambil memejamkan matanya. Enjoy sekali.

Hening sejenak.

“. . . So much to say, but I won’t make it quick. I lose my mind each time I look at your eyes. So why don’t you close them?. . .”

Lagi-lagi Christine membuatku terkesima. Ternyata masih ada lagu The Trees and The Wild lain di playlist-nya. Lagu itu berjudul Fight The Future. Akhirnya aku berani menyapanya. Aku merasa kami mempunyasi kesamaan yang dapat memberiku celah untuk berkenalan dengannya.

“Mbak Christine.” Sapaku sambil sedikit mendekati pundaknya. Tetapi dia tidak merespon, mungkin karena sedang asik mendengarkan musik. Akhirnya aku ulang lagi apa yang ku lakukan tadi.

“Mbak Christine. . .” Sapaku agak lama.

“Eh, iya mas.” Sahutnya sembari menengok dan melepas headset-nya.

“Suka dengerin The Trees and The Wild juga ya?” tanyaku memulai perbincangan.

“Iya mas, mas juga suka lagu-lagunya?” jawab Christine sambil membenarkan posisi duduknya.

“Wah, kebetulan, saya juga suka mbak.” Jawabku, tapi mungkin karena salah intonasi sebagai efek berbincang dengan gadis cantik, akhirnya terkesan “suka”nya itu ke “mbak”nya dan Christine terlanjur mengernyitkan dahinya. Aku pun langsung memperjelas kalimatku tadi.

“Maksudku lagunya mbak, hehe.” Sahutku sambil tersenyum. Christine hanya tersenyum dan menunjukkan gigi gingsul-nya. Duh, manisnya! Christine langsung berbalik tanpa mengucapkan apa-apa. Aku pun langsung memanggilnya dan kembali bertanya.

“Mbak Christine, suka nongkrong di taman ini?” tanyaku.

“Iya mas, aku juga sering lihat mas di sini kok.” Jawabnya sambil diakhiri dengan senyuman dan kembali berpaling.

Mulai saat itulah kami mulai saling terbuka. Ternyata Christine tinggal di kontrakannya dekat taman ini. Jadi setiap kali dia mendatangi taman pasti sambil jalan kaki. Senyum dan sapa selalu mengawali perjumpaan kami. Hubungan kami semakin dekat selama dua bulan kami saling kenal dan saling bertemu di taman itu. Christine memang seakan-akan selalu menaha dirinya untuk terlibat terlalu “dalam” dalam sebuah hubungan. Itulah yang membuat Christine tetap single sampai aku berjumpa dengannya.

Akhirnya rasa sukaku mulai sembunyi-sembunyi menunjukkan jati diri. Aku pun kadang memanggil Christine dengan panggilan sayang. Meskipun beda keyakinan, aku memang sangat menyukai Christine, entah aku juga menyayanginya atau tidak, aku hanya sekedar tahu bahwa itulah yang terjadi, meski aku tak menghendaki suatu hubungan diantara kami.

Akhirnya hari itu datang dimana aku menyatakan rasa sukaku kepada Christine. Kucuran keringat dingin menembus pori-pori yang malah seakan membuatku masuk angin berlapis-lapis. Seperti pejuang cinta yang ada di novel-novel yang pernah aku baca, mereka pasti mengalami malam yang sungguh tidak mengenakkan sebelumnya. Dan itu pun yang terjadi padaku ketika malam sebelum aku menyatakan rasa sayangku kepada Christine. Seperti tidur di atas karang-karang pantai Krakal, indah dan tidak nyaman di saat bersamaan.

Aku menunggu Christine di bangku biasa kami duduk berdua. Ya! Kami memang akhirnya selalu duduk berdua setelah lama sekali saling berlawanan bangku. Christine akhirnya datang dengan senyum spesialnya. Senyuman ditambah penampakan gigi gingsul-nya yang memang membuatnya sangat manis siang itu. Sangat manis, tidak seperti biasanya. Atau hanya perasaanku saja?

Christine mulai duduk dan mengeluarkan botol minumannya. Dia menenggaknya sedikit untuk menyegarkan tenggorokannya yang memang sedikit kering karena telah berjalan cukup jauh dari kontrakannya.

“Semalam galau kenapa?” tanya Christine yang membuyarkan semua angan-anganku tentang rencana pernyataan cintaku padanya.

“kok tanya gitu?” jawabku sambil menunjukkan ekspresi kebingungan.

“lha itu, kantung matamu kayak orang yang tidak tidur semalaman. Biasanya orang yang suka baca novel romance sepertimu susah tidur karena galau. Hahaha” jawap Christine sambil tertawa. Aku pun menimbalinya dengan menirukan tawanya.

“hahaha.” Sahutku dengan nada terpelintir supaya terdengar lucu. Itulah kebiasaanku ketika bersamanya. Menirukan tawanya. Tetapi dia pasti akan selalu menepuk lenganku sambil mencubitnya. Tidak hanya itu, Christine akan berbicara, “jangan ditirukan tow.” Sembari menunjukkan ke-manyun-annya.

Di sisi lain aku masih berusaha mengumpulkan keberanianku yang masih berceceran seperti dedaunan kering pohon beringin yang ikutan rontok di taman Pakualaman. Sungguh sulit bagiku untuk berani mengubah situasi nyaman menjadi sebuah keseriusan yang pastinya akan menyembunyikan senyummnya meski itu hanya sementara.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan isi hatiku.

“Aku sayang sama kamu Christine.”

“Ak. . .” belum selesai Christine berbicara, bapak penjual siomai sudah memotong perbincangan kami dengan bertanya mengenai makanan atau  minuman apa yang akan kami pesan.

“Mbak Christine sama Mas-nya mau pesan apa?” tanya bapak penjual siomai.

Aku memberikan kode Christine berupa menaikkan kedua alisku yang berarti “pesan seperti biasanya”.

“Aku pesen teh anget pak, sama es jeruk buat Mas-nya.” Jawab Christine sambil menepuk lututku tanda bahwa pesanannya “beres”. Bapak penjual siomainya pun langsung beralih.

“tadi mau ngmong apa?” tanyaku melanjutkan confession moment yang sempet terhenti tadi.

“Aku juga sayang kok sama kamu.” Jawab Christine sambil tersenyum.

Mendengar itu seperti baru saja dibukakan pintu oleh Christine untuk bisa masuk lebih dalam ke hatinya.

“Jadi kita gimana?” tanyaku. Christine hanya tersenyum kecil dan sedikit merunduk tanpa memandangku.

“Gimana Christine?” tanyaku lagi dengan sedikit penekanan. Christine lalu memandangku, pandagan terdalam yang pernah dia berikan padaku.

“Kita lihat aja nanti.” Jawabnya sambil tersenyum dan mengambil secarik kertas dari dalam tas kecilnya dan menulis sesuatu dan memberikannya kepadaku. Dan kembali tersenyum manis.

Aku membaca dan berusaha memahami setiap kata yang dia tuliskan kepadaku di kertas itu. Setelahnya tidak ada lagi beban dalam hati. Yang ada adalah sebuah kelegaan perasaan. Antara aku dan Christine. Kami terus terdiam sore itu membiarkan teh anget dan es jeruk yang ada di depan kami seolah membeku dan hanya tersenyum bersama menikmati setiap detik menuju senja. Entah apa yang akan terjadi setelahnya, kami tidak peduli. Kami hanya menikmati saat-saat itu. Aku hanya terus menggenggam kertas itu yang bertuliskan:

“Aku ingin menyeberangi sungai
Ada bunga memancar ke hati
Kulihat semalam dalam mimpi
(Gadis dan Sungai – karya Emha Ainun Nadjib dari buku ‘Sesobek Buku Haria Indonesia’)

Inspired by “Pelacur dan Supir Taksi” oleh Amril Taufiq Gobel dan “3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta” oleh Benni Setiawan

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: