Anies Baswedan Intelektual Indonesia Kelas Dunia (Bagian 2) [Info]

16.25 0 Comments


TEMAN DUDUK YANG SUKA BERANTEM

Meski tidak pernah menjadi juara kelas, ia terdaftar sebagai ’100 Intelektual Publik Dunia’. 

BELAJAR ADIL DI MEJA MAKAN
Memasuki usia enam tahun Anies dimasukkan ke SD Laboratori, salah satu SD negeri terbaik di Yogya. Aliyah bercerita, hari pertama masuk sekolah, Anies ngambek, karena belum dibelikan tas sekolah. Akhirnya Aliyah buru-buru mencarikan tas untuk Anies. Tetapi, setelah mulai masuk di sekolah ini, Anies kembali berulah. ”Anies sering kali berkelahi, sehingga saya sering kali dipanggil oleh guru ke sekolah, laporan guru-guru itu saya terima, tetapi saya merasa berkelahi itu bagian sosialisasi. Selama tidak membahayakan, saya biarkan saja mereka berkelahi,” kata Aliyah.

Anies berangkat ke sekolah dibonceng dengan sepeda. Umumnya, anak-anak di sekolah ini naik sepeda sendiri, diantar dengan mobil pribadi, bus, dibonceng sepeda motor, atau diantar dengan becak. Rupanya, orang tuanya sengaja memberikan pekerjaan antar-jemput dengan sepeda itu kepada Puji, tetangganya, yang saat itu sedang menganggur. Diam-diam, hal itu membuat Anies kurang pede. ”Saya agak malu. Bagaimana tidak malu kalau saya satu-satunya murid yang diantar-jemput dengan sepeda?” kilah Anies, tersenyum.


Beruntung antar-jemput dengan sepeda itu hanya berlangsung selama dua tahun, karena memasuki kelas 3, Anies sudah dibelikan sepeda sendiri oleh ayahnya. Dan, sejak kelas 3 itu, Aliyah tidak pernah lagi diundang guru ke sekolah. ”Sejak kelas 3, saya tidak pernah berantem lagi,” ujar Anies. 

Meski hidup sederhana, Anies merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang luar biasa pada keluarganya. Masih terbayang jelas saat ia bersama dengan kedua adiknya menunggui ayahnya pulang. Mereka berharap ayahnya membawa kotak makanan, bagian ayahnya dari rapat di kampus. 

Di meja makan, hampir setiap hari ayah dan ibunya membiasakan makan bareng. Di tempat inilah kedua orang tua Anies acapkali memberikan pendidikan kejujuran, keadilan, kebersamaan, dengan cara sederhana. Antara lain, kalau saat itu lauknya telur dadar, maka salah seorang di antara ketiga anaknya disuruh membagi dengan pisau. Tapi, bagi yang memotong itu, dia harus mengambil bagiannya paling akhir. Dengan demikian, ia selalu berusaha memotong telur dadar itu seadil mungkin, sama besar! 

Begitu juga kalau persediaan nasi terbatas, maka salah seorang di antara ketiga anak itu harus membagi. Seperti juga saat membagi telur, untuk anak yang membagi nasi itu, dia harus mengambil bagiannya paling belakangan. Di meja makan ini pula, kedua orang tua Anies membiasakan terjadinya dialog. Rasyid dan Aliyah membiarkan anaknya mendebat pendapatnya, atau berbeda pendapat dalam suatu masalah. 

Sikap egaliter inilah yang membuat kedua adik Anies, kalau memanggil dirinya cukup dengan panggilan Anies, tanpa menambah dengan kata mas, abang, atau kakak. ”Tapi, tidak dalam masalah agama! Untuk hal yang satu ini, tidak boleh ada perdebatan. Islam harus menjadi agama keluarga besar kami. Abah dan Mama lebih menekankan bagaimana kami anak-anaknya menjadi orang beragama yang baik,” tutur Anies.

Anies sangat terkesan setiap kali acara Sekaten di Alun-Alun Utara Keraton Yogya dan Peringatan HUT Kemerdekaan RI di Jalan Malioboro. Untuk menuju ke tempat dua acara itu mereka cukup berjalan kaki, karena jaraknya tidak jauh. Setiap kali menyaksikan acara peringatan HUT Kemerdekaan itu, Anies selalu digendong di atas bahu abahnya. ”Saya suka sekali melihat drum band,” kenangnya. 

”Begitu terkesannya Anies pada drum band, setelah itu Anies pun mengajak teman-temannya bermain drum band,” tambah Aliyah. ”Mereka menggunakan kaleng kosong yang diikatkan ke tubuh mereka dan kemudian mereka pukuli dengan kayu. Mereka berbaris di lapangan tenis di dekat rumah, seperti drum band yang mereka tonton di Jalan Malioboro.” 

Tidak itu saja. Ayahnya juga sering kali mengajak dirinya dan kedua adiknya nonton film ke gedung bioskop. ”Jadi, Abah itu di mata kami seperti teman. Kami biasanya nonton bareng-bareng berempat ke Mataram Teater, bioskop terbaik di Yogya saat itu!” 

Rasyid mengungkapkan, kalau ada di antara anak-anaknya yang tanpa sengaja berbicara tentang suatu judul film, diam-diam ia biasanya lebih dulu menonton film itu. ”Kalau film itu cukup baik untuk ditonton oleh anak-anak, barulah saya mengajak mereka untuk menonton.”

Ada cerita unik ketika Anies akan mengikuti ujian SD. Berbeda dengan kebanyakan orang tua yang lain, saat anaknya akan menghadapi ujian, mereka umumnya menganjurkan anaknya tekun belajar. Tetapi, tidak pada Rasyid. Saat esok hari harus mengikuti ujian akhir SD, ayahnya malah mengajak Anies dan kedua adiknya makan malam di luar. Kata ayahnya, ”Selama ini kamu sudah belajar. Itu sudah cukup! Jadi, kamu jangan tegang menghadapi ujian besok. Daripada kamu belajar malah jadi makin butek pikiranmu, lebih baik malam ini kita relaks. Yang penting kamu jangan lupa membaca bismillah!” 

BERBAKAT MEMIMPIN
Meski tinggal hanya sekitar tiga kilometer dari Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat, keluarga Anies berbicara sehari-hari di rumah dengan bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. Maklum, Aliyah, ibunda Anies, adalah wanita Sunda (Kuningan). ”Meski berbicara dengan bahasa Indonesia, tata krama di rumah tetap gaya Jawa Yogya. Saya dan adik-adik mengerti bahasa Jawa dari lingkungan, walaupun bukan bahasa Jawa tinggi, atau kromo inggil,” tutur Anies.

Seperti saat kanak-kanak, saat sudah mulai sekolah pun, Anies masih tetap saja selalu ’sibuk’. Bersama teman-temannya di Taman Yuwono, ia bermain sepak bola, mercon, kelereng, petak umpet, layang-layang, dan sebagainya. Ayahnya juga memasukkan Anies ke sebuah klub sepak bola PS Gama, di Yogya. 
Makin besar, bakat kepemimpinan Anies kian tumbuh. ”Ia cenderung mencari teman yang usianya rata-rata lebih tua daripada dirinya,” tambah Aliyah. 

Ridwan, adiknya, sangat terkesan ketika kakaknya membentuk kelompok anak-anak muda (7-15 tahun) kampungnya yang diberi nama Kelabang (Klub Anak Berkembang). Saat itu usia Anies baru 12 tahun. Mereka kemudian membuat seragam lengkap dengan tulisan Kelabang dan gambar binatang kelabang (lipan), dan setelah itu mereka mengadakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian. ”Karena yang mempunyai inisiatif itu Anies, maka mereka semua pun sepakat untuk menunjuk Anies sebagai ketuanya,” Ridwan menambahkan. Salah satu kegiatan Kelabang adalah membuat sekolah sepak bola. Anies kemudian membuat tulisan di atas papan bertuliskan Sekretariat Sekolah Sepakbola, yang ia pasang di depan rumah. 

Di sekolah, sikap kepemimpinan Anies juga makin tersemai. Ia beberapa kali dipercaya oleh teman-temannya menjadi ketua kelas di SD Laboratori Yogya. Oleh kedua orang tuanya, Anies memang didorong untuk aktif mengikuti kegiatan di sekolah. ”Dengan aktif berorganisasi, selain akan banyak belajar bagaimana mengelola manusia, tugas, dan perencanaan, dia juga akan terbiasa mendengar sesuatu yang tidak enak,” papar Rasyid. ”Di dalam organisasi mereka bisa berlatih menerima suara-suara yang tajam itu,” imbuhnya.

Disadari atau tidak, berbagai aktivitas itu akhirnya agak mengganggu Anies di kelas. Ia tidak pernah mendapatkan nilai terbaik, walaupun masih masuk dalam urutan 10 besar di kelasnya. Ayah-ibunya sudah memprediksi hal itu. ”Ia memang tidak pernah meraih peringkat terbaik, tetapi ia mendapatkan sesuatu yang nilainya jauh lebih dari nilai di rapor itu!” tegas Rasyid. 

Dari tahun ke tahun sikap kepemimpinannya makin menonjol, sehingga menarik perhatian para guru di sekolahnya. Itu sebabnya, saat memasuki kelas 5 dan 6 di sekolah itu, Anies ditunjuk oleh gurunya untuk berpidato saat acara salat Idul Adha yang diselenggarakan di sekolah. ”Saat itulah untuk pertama kali saya berpidato di depan orang banyak.” Anies berusaha merenda masa kecilnya. 

Bersambung.
Sumber: Femina

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: