Anies Baswedan Intelektual Indonesia Kelas Dunia (Bagian I) [Info]

18.17 0 Comments

TEMAN DUDUK YANG SUKA BERANTEM

Meski tidak pernah menjadi juara kelas, ia terdaftar sebagai ’100 Intelektual Publik Dunia’. 

Seakan sudah memperhitungkan waktu, pria muda itu mengakhiri pertemuannya dengan seorang profesor dari Colorado, Amerika Serikat menjelang kumandang azan Magrib bergema. Anies Baswedan, Ph.D., pria muda itu, menemui femina, dan berulang kali meminta maaf atas perubahan-perubahan yang mendadak tentang jadwal wawancara. ”Maaf, jadwal wawancaranya terpaksa harus berubah, karena besok pagi saya ada acara lain,” tuturnya, dengan sangat santun, sambil memohon izin untuk menunaikan salat Magrib.

Kesibukan suami Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc. ini memang luar biasa. Rabu pagi itu misalnya, ia baru saja terbang ke Yogyakarta untuk berceramah di Festival Film Asia atas undangan sutradara film Garin Nugroho. Setelah mampir sebentar ke rumah kedua orang tuanya di Jalan Kaliurang, Yogya, menjelang sore ia sudah harus kembali ke Jakarta. 


Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, ia tidak langsung pulang. Karena, ada dua acara lagi yang menunggunya. Ia baru bisa menginjakkan kaki di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, sekitar pukul 23.00. Esoknya, pagi-pagi ia harus bersiap lagi memberikan ceramah ilmiah di Jakarta. Karena itu, wawancara dengan femina pun terpaksa disisipkan di antara padatnya jadwal. Sambil menikmati kemacetan yang menyesakkan di sepanjang jalan tol Bandara Soekarno-Hatta menuju Kampus Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, perbincangan itu berlangsung akrab. 

MERASA ’KAYA’ SEJAK KECIL 
Sejak bocah, Anies memang sudah sangat ’sibuk’. Menurut Prof. Dr. Aliyah Rasyid, ibunda Anies, putra sulungnya itu tergolong anak yang sangat aktif dan tidak cengeng. ”Dia tidak mau hanya duduk manis dan diam. Akibatnya, ia sering kali terjatuh. Ia pernah terjatuh di teras rumah, dalam posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Saya langsung berlari mendekatinya karena khawatir ia gegar otak atau kepalanya terluka. Alhamdulillah... Anies ternyata tidak apa-apa. Meski jatuhnya sangat keras, Anies tidak menangis! Wajahnya saja yang kelihatan agak suram, menahan rasa sakit.”

Anies kecil memang jarang sekali menangis. Ketika tangannya terkena setrika panas sampai membengkak merah, ia tidak menangis. Padahal, saat itu usianya baru tiga tahun dan berbicara pun masih cadel. ”Kenapa tanganmu melepuh, Nak?” tanya ibunya. ”Kena trika,” jawab Anies kecil.

Anies lahir pada 7 Mei 1969 dengan pertolongan bidan Enny di Kuningan, kota kecil di bagian utara Jawa Barat, tempat kelahiran ibunya. Drs. A. Rasyid Baswedan, SU, suami Aliyah. Kemudian mereka memberi nama anak pertamanya itu, Anies. Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anis berarti ’tanaman yang banyak tumbuh di kawasan Laut Tengah, buahnya kecil-kecil dan berbau harum, dipakai sebagai obat atau rempah-rempah’. 

Tetapi, menurut Rasyid, anies artinya ’teman duduk’. Selain melambangkan ketaatan seorang anak, nama itu juga dimaksudkan untuk mengenang nama kakak perempuan tercinta Rasyid yang bernama Anisah yang saat itu sudah meninggal. ”Karena anak saya laki-laki, maka saya beri nama dia Anies. Lengkapnya Anies Rasyid Baswedan. Semua anak saya, saya sertakan nama saya dan nama keluarga, yaitu Rasyid dan Baswedan!”

Anies tumbuh tidak hanya aktif, namun juga lumayan nakal. ”Saat kanak-kanak, saya tergolong anak yang kurang baik,” akunya jujur. ”Saya sering berantem dan di antara mereka ada yang saya pukuli sampai berdarah-darah. Mungkin, di antara mereka banyak yang sebel, sehingga mereka kemudian mengeroyok saya.”

Saat itu usia Anies baru sekitar lima tahun dan masih tinggal bersama kakeknya. Anies dipukuli oleh sekitar lima-enam anak seusianya di lapangan tenis. Aliyah yang baru pulang dari kampus dan menyaksikan anaknya dipukuli teman-temannya, malah pura-pura tidak melihat. ”Sebagai ibu, saya tentu sangat kasihan,” papar Aliyah. ”Tetapi, saya lihat keadaannya tidak membahayakan, jadi saya biarkan saja. Itu sebagai latihan Anies agar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.” 

Anies besar di lingkungan keluarga pejuang yang sederhana, pendidik, dan peka kondisi sosial. Anies dan keluarganya memang tinggal di rumah kakeknya, Abdurrachman (AR) Baswedan, seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946) serta anggota konstituante (Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua orang tua Anies adalah dosen. Rasyid pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, sementara Aliyah adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta.

Lingkungan kehidupan orang-orang pilihan inilah yang membuat Anies merasa ’kaya’ sejak bocah. Dari kakeknya, ia mendapatkan nilai-nilai perjuangan, kemanusiaan, kejujuran, dan sebagainya. Sepanjang sejarah di Indonesia, mungkin hanya kakeknyalah tokoh nasional yang hingga akhir hayatnya tidak mempunyai rumah. 

Saat itu, kakeknya tinggal di Taman Yuwono, kompleks perumahan yang dibangun bagi para pejuang kemerdekaan. Kompleks yang terletak di Jalan Dagen, belakang Jalan Malioboro, itu terdiri dari 20 rumah dan sebuah lapangan tenis yang dibangun oleh Haji Bilal, seorang pengusaha batik di Yogya. Rumah yang ditinggali oleh kakek Anies ini sebelumnya pernah didiami oleh Kasman Singodimedjo, M. Natsir, dan M. Roem. Di rumah ’wakaf’ kakeknya itu tidak ada telepon, sepeda motor, apalagi mobil. 

Meski Anies lahir di lingkungan keluarga akademisi, Rasyid dan Aliyah sepakat membiarkan semua anaknya tumbuh alamiah. Ia tidak memaksakan agar putra-putrinya bisa membaca dan meng­hitung lebih dini, misalnya. ”Kami yakin anak-anak kecil butuhbermain yang produktif dan kreatif. Karena, dunia bermain pada anak sama dengan dunia bekerja pada orang dewasa. Itulah yang bakal menjadi bekal kehidupan mereka ke depan,” tutur Aliyah.

Menurut Aliyah, Anies baru menangis saat ia me&rengek-rengek minta sekolah. Awalnya, Aliyah kurang menggubrisnya, karena saat itu usia Anies baru tiga tahun. Ia pikir, anaknya itu hanya ingin sekolah, karena setiap hari menyaksikan anak-anak lain yang masuk di sekolah TK Bustanul Athfal, tidak jauh dari rumah. 

Namun, ketika Anies setiap kali merengek minta dimasukkan ke sekolah, Aliyah berusaha berkonsultasi dengan Rahayu Haditono, psikolog kenamaan di Yogya. ”Biarkan saja anak Ibu masuk sekolah. Tetapi, kalau tiba-tiba dia ingin berhenti sekolah, jangan dipaksa sekolah,” saran Rahayu.

Anies pun mulai sekolah. Setiap hari ia diantar Eyang AR Baswedan. Seperti sudah diduga, Anies belum sepenuhnya ingin sekolah. Terkadang menggebu-gebu ingin masuk sekolah, tetapi dalam kesempatan lain tiba-tiba mogok dan tidak mau masuk sekolah lagi. Menjelang usia lima tahun, barulah ia kemudian dimasukkan di sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogya. 

Setiap hari Anies diantar-jemput oleh Gimin, tukang becak yang hampir setiap hari mangkal di dekat rumah kakeknya. ”Selain kami berdua bekerja, kami juga ingin melatih Anies agar bisa lebih cepat mandiri,” Aliyah memberi alasan. ”Tetapi, sebenarnya diam-diam saya mengikutinya dari belakang. Sebagai seorang ibu, saya tidak tega melihat anak usia lima tahun naik becak sendiri.” 

Anies tergolong pemberani. Saat di TK Syuhada itu, Rasyid pernah menyaksikan anak sulungnya menonjok teman sekolahnya yang jauh lebih besar. Gara-garanya, Anies melihat anak besar itu mengejar dan akan memukul seorang anak yang lebih kecil. Anies langsung mengejar dan mendorong anak besar itu sampai terjatuh. Ketika anak besar itu bangun dan memandangi Anies dengan marah, Anies justru balik memandangi anak itu dengan pandangan yang lebih tajam. Apa yang terjadi? Anak itu ngeloyor pergi, tanpa berani memandang mata Anies. 

Bersambung.
Sumber: Femina

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: