Jawaban untuk 'Teman' [Cerpen]

10.07 0 Comments


Aku tidak tahu. harus menjawab apa ketika membaca puisi dari lelaki itu. Pelan-pelan airmataku merebak.  Apakah Janu tahu aku menunggu seseorang? Seseorang yang bertahun menghilang dari kehidupanku. Tanpa aku tahu dimana ia sekarang. Tentu dia tahu. walau aku tak mengatakan secara lisan. Janu tahu semua tentang aku. Aku harus menjawab apa? Janu tahu aku masih menyimpan nama seseorang. Dan sekarang Janu memintaku. Agar aku percaya untuk menitipkan setitik rindu ini kepadanya.

Sore ini aku dikejutkan dengan kehadiran Janu yang tiba-tiba muncul di depan pintu kosku. Dari jendela yang lebar aku menengok ke bawah. Bunga azalea sedikit mengganggu penglihatanku. Susah payah aku memindah pot bunga azalea itu. Penasaran dengan suara gaduh gemerincing yang ada di jalan tepat dibawah jendela kamarku. Sesosok lelaki berbaju lurik khas jogja, blangkon dan kacamata hitam melambai kearahku. Ia tengah bersandar di sepeda kuno khas tempo dulu. Tangan kirinya tak henti membuat gaduh kos-kosan dengan terus membunyikan bel sepedanya. ‘kring kriiiiiiing! Kring kriiiiiing!’ aku mengeryitkan dahi. Tidak mengenali sosok nyentrik berblangkon itu. ‘nikeeeen! Ini Janu!’ teriaknya. Aku membeliakkan mata. ‘Janu?! Sumpah gila banget kamu!’ aku tertawa. Janu yang dibawah juga terbahak. ‘ikut nggak?’ ‘kemana?’ aku tertarik dengan ajakannya. ‘udah ikut aja’


Bergegas aku turun kebawah sambil menyambar ranselku. Di depan pintu kos Janu sudah menungguku. Ia tersenyum lebar. Aku juga. Sedikit aneh melihat paduan lurik, jeans belel, blangkon, kacamata hitam ala rock and roll dan sepeda kuno. Entah mendapat pinjaman sepeda darimana ia. ‘khusus hari ini saya siap mengantar jeng Niken jalan-jalan keliling kota naik sepeda. Mantapkan?’ sambil menaik turunkan kacamata hitamnya dan melirik jahil. Aku tertawa.
‘monggo jeng!’ ia menyilakanku naik ke boncengan sepedanya seolah olah itu mercy. Bukan sepeda unta. Aku tertawa keras. Memukul bahunya. ‘kamu emang gila, sayang!’. Ia tertawa. ‘kita gowes sekarang jeng?’ ‘eh bentar! Jangan dulu!’ aku mengaduk aduk isi ranselku. Menemukan dua benda yang kucari. Karet rambut dan kacamata hitam. Setelah menguncir ekor kuda rambutku, aku mengenakan kacamata hitam seperti janu. Lantas aku dengan santai duduk di boncengan sepedanya. Janu geleng-geleng kepala. mungkin heran aku bisa diajak gila. ‘budhal sak niki Jeng?’ tanyanya sambil nyengir kuda. ‘budhal!’

Janu dengan semangat mulai mengayuh sepedanya. Tentu tambah berat dengan aku diboncengannya. Gang tempat kosku tinggal menjadi ramai karena Janu tak henti membunyikan belnya. Orang-orang yang melihat kami geleng-geleng kepala. Mungkin dipikiran mereka ada syuting film yang masang scene Sudjiwo Tedjo membonceng Dian Sastro.

Sore ini begitu cerah. Janu tak henti membuatku tertawa. Sambil bersiul siul dan nembang ngga jelas ia masih bersemangat menggenjot sepedanya. Kami berkeliling kota. Kebetulan ini sabtu sore. Jalanan yang kami lewati penuh dengan orang-orang yang hendak menghabiskan sabtu malamnya diluar rumah. Orang-orang yang melihat kami juga tak kalah takjub. Maklum aku dan Janu kontras sekali. Janu dengan lurik nyentriknya sedang aku tampil santai dengan bluejeans dan kaus oblong putih. Kacamata hitam yang kukenakan sedikit mengurangi rasa malu akibat gowes gila yang kami lakukan.

Puas berkeliling Janu membelokkan sepedanya ke jembatan tua dekat taman kota. Sepeda ia parkir. Kemudian ia duduk di atas jembatan yang besinya sudah kecokelatan. Kakinya menjuntai kebawah. Dibawah, air sungai yang surut karena musim kemarau tampak bening. Kilau mentari sore menampilkan riaknya seperti mutiara-mutiara yang terserak begitu saja.

Janu sudah tak lagi memakai kacamata hitamnya. Ia simpan di saku baju luriknya. ‘duduk sini Ken. Dari sini kita bisa ngeliat sunset yang bagus banget. Kita kan menghadap ke barat. Jadi pas momennya. Apalagi ini ngga ada mendung....’ aku mengiyakan. Dan duduk disampingnya.

Benar kata janu. Dari jembatan ini kita bisa melihat langit sore yang warnanya biru, jingga, lembayung kemerahan. Angin musim kemarau cukup kencang. Kakiku menggantung di jembatan. Aku mengayunkannya begitu rileks. Kulepas kacamata hitamku. Aku pun terpejam.menarik napas panjang. Membawa udara sore itu ke paru-paru. Dan menghembuskannya begitu damai. Perlahan aku melepas ikatan rambutku. Angin sore yang ramah mengajaknya bercanda. Rambutku sedikit berantakan gara-gara hembusan angin itu. Tapi aku menikmatinya. Pandanganku lurus tertuju ke depan. Menunggu matahari tenggelam. Janu melihatku seperti bengong. Aku tersenyum dan menoleh kepadanya. Ia tergeragap.

‘makasih buat semua ini Janu’

‘aku yang makasih Ken!’

Hening hinggap diantara kami. ‘Niken... gimana jawabanmu?’ aku terdiam. ‘aku sudah melakukan semua untuk kamu Ken. Semua ini untuk kamu. Aku bela-belain dandan gila. Sampe beli tu sepeda unta. aku nggak bisa nunggu lagi. Hampir tiga tahun aku nunggu tanpa kepastian. Tolong Ken, kasih aku kesempatan sekali ini saja.....’

Aku mendengarkan. ‘kenapa kamu begitu yakin? Banyak gadis diluar sana. Kenapa harus aku?’
‘karena kaum beda Ken. Apakah mungkin masih ada nama orang lain Ken? Dalam pikiranmu? Aku nggak peduli Ken. Aku nggak peduli. Aku nggak meminta agar kamu melupakan dia. Semua orang punya masa lalu Ken. Begitu juga kamu. Tapi lambat laun aku yakin. Kita akan bisa mengerti satu sama lain.’

Hatiku berdesir. Bagaimana Janu tahu? tapi tidak kupungkiri. Janu sudah mengisi ruangnya disini. Di hati yang tak mungkin terbaca kedalamannya. Aku menghela napas. Aku sendiri tidak bisa jika tanpa Janu. Sehari-hari kami sudah bersama. Dan aku merasa nyaman disampingnya. Aku tidak ingin kehilangan itu. Pelan aku mengangguk.

‘apakah itu berarti iya, Ken?’

‘iyalah. Masa aku bohong?’ aku tersenyum menatap matanya. Janu bengong lagi.

‘Yah, Janu malah bengong?’

‘nggak Ken. Udah tiga tahun kamu bikin aku gila. Dulu banget, aku cuma bisa ngliat kamu dari jendelamu itu. Tanpa satu usaha yang berhasil bikin aku deket ma kamu. Sedikit minder sainganku banyak juga. Fans kamu banyak banget Ken. Dan mereka semua manggil kamu Nia. Bukan Niken.’

‘berarti mereka bukan fansku dunk. Aku kan Niken. Bukan Nia.’

Aku tertawa. Senja sudah merah saga. Sebentar lagi matahari tenggelam.

‘Ken, bikin kesepakatan yuk. Perjanjian.  Semacam MoU gitu. Hehehe......’

‘perjanjian gimana?’

‘tirukan aku ya Ken. I trust you, you trust me. I believe in you, you believe in me. Bisa?’

Aku tersenyum, mengangguk. Janu mengulurkan kelingkingnya padaku. Dengan yakin kulingkarkan kelingkingku di jemarinya.

‘I  trust you, you trust me.........
I believe in you, you believe in me........’           

‘makasi ya Ken, udah percaya ma aku?’

Aku tersenyum. Pandangan kami lurus ke depan. Matahari tenggelam perlahan. Seperti bola merah maroon yang kembali ke guanya.  Sinarnya memancar lembut. Tak lagi silau, segarang siang tadi. Udara menjadi lebih dingin. Aku sedikit menggigil. Janu tersenyum, mengajakku pulang.                                                                                                                                                          
Kami menaiki sepeda. Pulang kerumah. Aku duduk diboncengannya. Semua sama seperti tadi ketika kami berangkat. Pohon, jalanan, keramaian orang-orang. Hanya satu yang berbeda. kali ini aku sudah mempercayai Janu. Untuk menemani dan mengisi hari-hariku selanjutnya.

‘Ken.....’

‘ya?’

‘terus berada di belakangku ya Ken. Seperti saat sekarang kamu duduk di boncengan sepedaku. Karena saat-saat inilah aku bisa yakin bahwa kamu memang milikku untuk aku jaga.  Bisa Ken?’
Aku hanya tersenyum. Mengangguk kecil.

Sepeda Janu gesit membelah jalanan yang semakin ramai dengan derum kendaraan bermotor , asap, riuh rendah suara musik yang digelar dari pedagang VCD bajakan di trotoar jalan juga kelap kelip lampu kota. Dengan sederhana kami melintasi gemerlap malam itu diatas sebuah sepeda yang tetap tabah mengarungi jalanan kota kami.

Ngawi, 9 Januari 2012. 11.09 pm
Related Post : 

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: