Rahasia Sang Arsitek [Cerpen]

03.26 0 Comments


Yang aku ingin untuk sementara ini hanyalah  duduk disampingmu.  Ya hanya itu. Tidak lebih. Memandangmu lama-lama sambil mendengar ocehanmu yang merdu. Sembari bibirmu mengerucut lucu. Tanganmu bergerak-gerak bebas. Kepalamu geleng ke kanan kiri dengan binar matamu yang ekspresif. Aku senang melihatmu begitu. Terkadang aku begitu kagum dengan gayamu. Sampai-sampai aku bengong sendiri. Dan kamu tertawa menyadari kebloonanku. Sumpah demi Tuhan, apa-apa yang melekat padamu diciptakan begitu indah.

Kita sering berbagi cerita di bangku taman kota bawah pohon kenari yang rindang. Hal-hal sederhana yang kita bicarakan. Tapi selalu membuatku tertarik. Misalnya saja kucingmu yang selalu menurut ketika kau memandikannya. Atau murid-murid didikmu yang lucu dan terkadang bandel. Bagi orang lain mungkin itu biasa. Tidak bagiku. Apapun yang keluar dari bibirmu yang pink menjadi bahan yang menarik untuk diperbincangkan. Apalagi dengan gayamu bercerita. Kepalamu berayun kesana-kemari, rambut panjangmu yang senantiasa kau urai mengikut dengan eloknya. Matamu berbinar. Indah sekali. Aduh bodohnya aku! Bukankah ini sudah kuceritakan?


Hmmm, sore ini kusempatkan waktu untuk mendengarkan ceritamu selepas dari kantor. Aku tersenyum, melirik jam tangan yang menunjuk pukul 3 sore. Dengan riang kukemasi berkas yang telah selesai aku revisi. Draft gambar pertokoan, rumah dan desain bangunan sudah tersimpan aman di laci meja kerjaku.  Di toilet, aku mencuci mukaku yang kuyu. Tidak ingin menemuimu dengan wajah kusut kelelahan. Segar rasanya saat percikan air itu meluruhkan kekusutanku di kantor. Di kaca depan wastafel, terpantul seraut wajah tampan pria berkacamata berusia pertengahan  20 tahunan. Wajahku. Wajah eksekutif muda yang tentunya selalu dilengkapi dengan dasi dan tentengan koper. Aku terpaku. Dan tersenyum. Kulepas dasi coklat yang membelit leherku. Kemeja krem yang kukenakan aku gulung lengannya hingga sebatas siku. Kerah yang mencekikku aku juga melonggarkannya dengan melepas kancing teratas. Rambutku? Biarkan saja. kau senang dengan rambutku yang seperti detective conan. Menarik napas. Dan aku siap menemuimu

Aku gelisah. Sudah setengah jam aku menunggumu. Disini, bangku kecil dekat taman bawah pohon kenari. Tidak biasanya kamu terlambat. Aku jadi cemas. Apalagi mendung sudah menggayut demikian tebal. Gadis penceritaku, kamu dimana? Aku sudah menghubungi ponselmu. Tapi tak kau jawab. Milkshake strawberry yang aku pesan untukmu sudah tak lagi dingin. Cairannya meluber kesana-kemari. Tapi aku yakin kau akan datang.

Aku menarik napas lega ketika menangkap sosok perempuan bergaun lembayung selutut yang langkahnya tergesa kearahku. Rambut panjangmu kau gelung seperti sanggul kecil dengan tusuk konde kayu eboni. Senyum terbaik untuk menyambutmu sudah aku siapkan. Aku berdiri menyongsongmu sambil melebarkan tangan. Tak kunyana kau langsung saja berlari dan mendekapku. Aku terkejut. Bertahun-tahun mengenalmu baru kali ini kau mendekapku. Harus kuakui aku senang, tapi itu tidak lama setelah kutahu kau menangis terisak-isak didadaku.

Aku diam saja. Tangismu makin hebat. Kurasakan sesuatu yang basah merembes dikemejaku. Mungkin itu airmatamu. Mungkin itu juga ingusmu. Tapi aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanyalah kamu. Pelan-pelan aku mendudukkanmu di bangku.

Tanganmu yang mungil mengusap airmata yang mulai surut dengan selembar kertas tissu. Pipimu, hidungmu, tampak memerah. Matamu juga. Masih ada butir-butir embun disana. Tapi jujur saja kau tampak makin cantik sehabis menangis. Kiranya memang airmata diciptakan Tuhan untuk melengkapi kejelitaan hawa-Nya.

Dengan terbata-bata kau ucapkan terimakasih padaku. Lalu kau menangis lagi. Kau bilang sekolah terbuka yang kau dirikan bersama teman-temanmu dibelakang pasar induk hendak dirobohkan. Anak-anak jalanan yang kau bina bertahun-tahun ini kini tak lagi punya sekolah. Yang mengajar dengan nurani. Bukan hanya minta bayaran dan upeti. Katanya lahan yang didiami sekolahmu hendak dijadikan supermall yang terbesar di kota kita. Katanya lahan yang digunakan itu tidak dilengkapi dengan surat. Padahal kau dan teman-temanmu sudah mengantongi ijin dari desa setempat. Tapi ijin saja tidak cukup bagi aparat-aparat yang membongkar paksa sekolahmu.

Aku diam saja mendengar ceritamu. Di sana. Di dua bola matamu yang biasanya mengalir keteduhan aku tidak menemukan itu. Yang ada rasa kecewa dan kepedihan. Juga bara dendam. Aku mengerti apa yang kau rasakan gadisku! Betapa sakitnya sekolah terbuka yang kau rintis bersama kawan-kawanmu dihancurkan begitu saja atas dasar surat penggusuran. Aku mengerti. Tapi aku tidak bisa membantu apapun untukmu. Menyumpahi diriku sendiri yang tidak bisa membantumu sedikitpun dalam masalah pelik ini. Aku hanya bisa meminjamkan bahuku agar kau bisa bersandar disini sementara waktu. Dan harus kau tahu, aku benci melihatmu menangis.

Dari bibirmu mengalir cerita itu. Bagaimana nasib anak-anak kolong yang kau bina sekian tahun, betapa cerianya mereka tatkala kau datang dan membawa buah tangan seperti sekardus kue dan sekeranjang roti hangat yang kau buat dengan oven tuamu, dan masa lalu mereka yang buram tanpa adanya didikan dan belas kasihan orangtua. Terisak isak kau menceritakan itu. Aku hanya diam. Lama kau tak berbicara. Kepalamu tenggelam didadaku. Masih menangis dan terisak.

Keesokan harinya, sekolah yang kau rintis susah payah dirobohkan dengan hitungan jari. Anak-anak didikmu hanya bisa termangu melihat sekolah mereka dihancurkan. Sebagaimana impian mereka yang hancur berantakan. Impian yang pernah kau tanam di sanubari mereka. Menghiasi setiap tidur malam yang dilewatkan di emperan toko. Tanpa bintang, tanpa penerangan. Hanya ada dingin dan harapan akan besok. Bertemu denganmu sang bu guru cantik di sekolah reyot belakang pasar.

Sejak saat itu anak-anak kolongmu tak pernah kelihatan lagi. Sejak saat itu aku mengajukan surat pengunduran diri di perusahaan. Sejak saat itu juga kau begitu membenci aparat, yang katamu keparat itu.

*****

Dua puluh tahun kemudian.

Aku mengemudikan mobil dengan gelisah. Selalu macet jam sore seperti ini. Kau yang duduk disampingku hanya tersenyum. ‘hati-hati saja pak! Biar pelan asal selamat!’ aku menoleh. Memandang wajahmu. Gadis pencerita yang  menjadi ibu dari tiga jagoanku yang sudah beranjak remaja. Ah kau masih cantik! Sedikit terpesona, mengingat kita dulu. Aku merasa damai ketika tangan halusmu menggenggam tanganku yang tegang dibalik kemudi.

Jalan masih juga macet. Mobil yang kukendarai seperti kura-kura yang kepayahan merangkak. Dan aku terjebak di perempatan lampu merah. Ketika itu senyummu memudar. Berubah dengan raut sedih. Di kiri jalan, samping jendela mobil matamu nanar memandang ke sebuah supermall terbesar di kota kita. Lantas matamu kembali menyala. Ada bara dendam disana. Aku pura-pura tidak tahu dan menyalakan radio yang memutar lagu-lagu pop anak muda. Tidak sesuai dengan usiaku tentunya. Tapi aku tidak bisa memandang matamu yang murka seperti itu.

Karena mall itu bekas pasar dan sekolahmu didirikan.

Karena aku juga salah satu arsitek mudanya. Oleh sebab itulah ketika sekolahmu dirobohkan, aku memilih mundur dari pekerjaanku. Tidak tahu jika mall yang aku rancang akan menghancurkan mimpimu dan anak-anak didikmu.

karena  aku juga tidak mau kau panggil sebagai keparat.

Wajahmu semakin tenggelam. Aku juga tenggelam dalam lamunan. Berharap kau tidak pernah tahu bahwa aku sang arsitek yang menghancurkan pondasi mimpi indahmu. Jalanan ini juga tenggelam dalam debu, asap kendaraan dan kemacetan. Sungguh saat ini aku ingin segera pulang!


Ngawi, 16 Februari 2012                                                                                             

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: