Sleeping Beauty [Cerpen]

12.27 0 Comments


Aku mendesah. Jumat sore teman-temanku berwajah cerah. Ada yang merencanakan pergi dengan suaminya, kencan dengan pacarnya ada juga yang berniat mencoba resep-resep kue baru di dapur mereka. Mereka tertawa membayangkan akhir pekan yang didepan mata. Lepas dari beban kerja yang tidak pernah berhenti menghimpit selama seminggu.

Tapi tidak denganku. Akhir pekan ini aku sendiri lagi. Tunanganku sibuk untuk memantau perkembangan kantor cabang perusahaannya yang baru saja di buka di kota lain. Aku sedikit kesal. Tanpa sadar aku menghentakkan kaki dan hak sepatunya membentur ke meja kerjaku. Aku sedikit malu pada teman-temanku. Tapi mereka tidak mendengar hentakan kakiku.


“have a nice weekend Dewi!”

Aku menoleh. Melambaikan tangan pada Naomi yang tersenyum lebar. Dia tampak terburu-buru.

“Aku duluan yaaa?”

Aku mengangguk pada Naomi. Memandang berkeliling. Ternyata kantorku sudah sepi. Tinggal aku sendiri. Studio pemotretan juga sudah gelap. Tampak wardrobe yang tadi digunakan model untuk pemotretan cover majalah sudah tersimpan manis di lemari kaca. Aku memandang itu semua dengan jemu. Bekerja di majalah fashion tak semenarik yang aku duga sebelumnya. Aku menarik napas panjang. Sudah jam 6 petang. Kakiku melangkah tidak semangat ke basement tempat mobilku terparkir.

*****
Akhirnya sampai juga. Apartemenku terletak di lantai tujuh. Didalam lift hanya aku sendiri. Bayanganku terpantul di kaca lift. Cantik, muda tapi tampak kuyu dengan setelan blazer merah dan rok selutut warna khaki. Mengenaskan! Aku tersenyum pahit.

Ting tung! Aku bernapas lega. Bergagas melangkahkan kaki ke apartemen nomor 142. Apartemen kesayanganku. Pintu aku buka perlahan. Gelap. Aku menyalakan lampu. Melemparkan Stiletto yang menyiksa kakiku sedari tadi. Lantas aku berbaring di ranjang, masih lengkap dengan busana kerjaku. Aku memejamkan mata. Perlahan airmata ini menetes.

Sedari kecil aku terbiasa sendiri. Mama dan papa selalu sibuk mengurus rumah makan yang mereka rintis dan sekarang sudah berkembang pesat. Aku sendirian dirumah. Ditemani dengan sejumlah pengasuh dan guru les. Les piano, les gitar, sekolah. Belajar ini itu. Aku hanya menurut saja. Menyenangkan hati mama papa. Karena hanya aku satu-satunya anak mereka. Tapi aku kesepian.

Sekarang pun juga. Aku punya banyak teman. Apalagi aku bekerja sebagai editor di salah satu majalah fashion terkemuka. Banyak kawan, banyak acara, banyak basa basi tidak penting. dan setiap ada acara gala dinner selalu ada saja orang atau kawan yang menaksir tas, sepatu, wardrobe yang kita kenakan. Walaupun harganya selangit tetap saja mereka melirik sinis. Modelnya jadul, tidak up to date dan banyak lagi. Sambil meremehkan pekerjaanku tentunya. Seorang editor majalah fashion yang tidak bisa tampil modis dengan baik dan benar. Aku mencoba berpenampilan baik. Tapi selalu ada yang mereka cela. Aku tersenyum. Walau sebenarnya aku muak tingkat dewa.

Surya juga begitu. Katanya Ia tunanganku. Katanya tahun depan ia ingin menikahiku. Katanya….. katanya…. Aaaaaaaah!!!!! Ia sibuk sendiri. Sebagai manajer di perusahaan yang dipercaya oleh direktur utama ia selalu ditugaskan di garda depan. Setiap ada pembukaan kantor cabang baru diluar kota ia juga turun tangan. Selalu begitu. Tidak terhitung berapa kali ia membatalkan acara dinner romantis yang aku rancang jauh-jauh hari. Aku terlupakan. Bahkan oleh orang yang aku cintai.

Pikiranku melayang lagi. Sebagai wanita pertengahan dua puluhan, aku sudah memiliki semuanya. Mobil, apartemen, pekerjaan bergengsi memuakkan, tunangan yang manajer perusahaan property, fisik menarik semuanya! Tapi aku kesepian. Sangat!

Aku bangkit dari tempat tidur. Beranjak kamar mandi. Menyalakan kran air dan memenuhi bathup dengan air hangat. Sedikit membuatku nyaman. Tapi itu tidak lama. Rasa gelisah mengalahkan kenyamanan air hangat tempatku berendam. Aku mengenakan kimonoku. Keluar dari kamar mandi. Pikiranku gelisah. Mondar mandir kesana-kemari.

Tapi aku punya ide bagus untuk mengakhiri ini semua. Aku tersenyum dan tertawa terbahak bahak. Tahu, bahwa sebentar lagi aku mampu keluar dari kesepian ini.

Aku mengirim pesan ke Surya, bahwa malam ini aku ingin bertemu dengannya. Tapi aku tidak terlalu berharap Surya akan datang kesini. Alasan klasik. Pekerjaan menunggunya.tapi aku tidak peduli. Aku tetap mengirim pesan itu.

Kemudian aku mengeringkan rambut dengan hair dryer. Menyisirnya rapi. Rambutku yang panjang aku roll sehinga membentuk gulungan indah yang jatuh di pinggangku. Memoleskan foundation dan bedak. Membubuhkan eye shadow di kelopak mataku. Pipiku jadi pink merona berkat sapuan blush on yang pas melingkupi tulang pipi. Lipstick merah kupoleskan dengan hati-hati. Di cermin bayanganku yang tersenyum tampak cantik. tahu bahwa keindahan ini tak akan lama.

Aku menukar kimono mandi dengan gaun warna merah menyala. Gaun dengan potongan yang pas dengan tubuhku. Tak lupa menyemprotkan parfum  favoritku. Aku mengaca lagi. Aku tampak cantik sekali. Rambutku yang panjang tampak mengombak dengan indahnya. Wajahku tak lagi kuyu. Tapi segar bercahaya. Lagi-lagi aku tersenyum. Mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku berdandan bukan untuk Surya yang tak mungkin datang malam ini. Aku berdandan untuk diriku sendiri.  Dan lagi-lagi  aku tertawa. Keindahan ini tidak akan lama.

Aku melirik ponselku. Tak ada pesan balasan dari Surya. Aku tidak  kecewa. Aku jadi semakin yakin dengan pilihanku.

Setengah berjinjit aku membuka tempat penyimpanan obat yang tergantug di dinding dekat kamar mandi. Mencari sebuah botol yang penuh dengan pil warna putih. Kemudian menyambar segelas air mineral. Membawanya ke tempat tidur.

Dipinggir tempat tidur aku terdiam memandangi pil-pil itu. Selama ini hanya pil itu yang menjadi kawan dalam menghadapi kesepian. Ya, ini adalah Valium. Obat tidur yang membantuku terlelap setiap malam. Tapi kali ini tak hanya semalam. Tapi selamanya. Aku memandangi pantuan diriku di cermin. Cantik  dengan rambut panjang berombak dan gaun merah. Aku ingin menjadi sleeping beauty. Si cantik yang tertidur menunggu pangerannya. Tapi aku tidak menunggu pangeranku. Aku menunggu kematianku. Tidur membuat kematian seperti mimpi indah yang jauh dari kesan menyakitkan. Aku memang sleeping beauty. Aku menangis perlahan, tapi tak lama aku tertawa terbahak-bahak. Dengan segera aku menuang sebotol valium itu ke mulutku tanpa sisa. Lantas meneguk air mineral. Kepalaku sedikit pusing. Aku merebahkan diri diatas ranjang yang telah aku tata. Menarik selimut, menarik senyum terindahku. Agar ketika jasadku ditemukan, aku masih tampak cantik seperti putri yang lelap tertidur.

*****
Semua tidak menyakitkan. Seperti mimpi indah. Petugas cleaning service yang memeriksa apartemenku keesokan harinya dikejutkan dengan aku yang sudah terbujur kaku di tempat tidur, namun masi menyunggingkan senyuman indah. Koran, majalah dan surat kabar tak henti-hentinya mengekspos kematianku yang anggun dan misterius. Aku tersenyum puas.

Sore ini di rumah papa-mama aku disemayamkan dalam peti kaca. Aku dirias lagi, gaunku diganti dengan yang lebih indah. Tanganku yang disedekapkan didada diselipkan setangkai mawar merah. Dari atas aku tersenyum melihat tubuhku yang bahkan tak lagi bernyawa tapi masi terlihat cantik. Dari pintu depan terus berdatangan sanak keluarga, teman-teman dari majalah fashion dan kenalan-kenalan.

Mama terus menangis. Sehari ini saja beliau sudah tiga kali pingsan. Papa tersenyum berusaha tabah, surya berdiri disamping peti, terus memegang tanganku. Airmatanya jatuh perlahan tanpa suara tangis atau rintihan kesedihan dari bibirnya. Aku tahu mereka merasakan kehilangan yang sangat. Aku tersenyum sinis. Waktu aku masih ada ditengah-tengah mereka tidak ada yang peduli denganku. Baru kali ini mereka terlihat sangat peduli. Tapi kenapa harus saat aku tak lagi bernyawa dan berada  di dimensi lain? Ada sedikit kepedihan menyadari ini semua. Betapa ironis! Diabaikan lalu ditangisi ketika sudah pergi untuk selamanya.

Para pelayat semakin ramai menziarahi aku. Aku muak dengan mereka semua. Aku benci. Terbang meninggalkan rumah, ke dimensi putih yang sama sekali baru buatku. Hanya putih tidak ada yang lain. Aku tertunduk sedih lagi. Bahkan dalam kematian aku masih merasa kesepian.

*****

“Dewi…… ayo bangun sayang…..”

Aku tergeragap. Surya di samping tempat tidur. Bibirnya tersenyum lembut. Tangannya mengusap usap rambutku. Aku terkejut. Aku masih hidup???? Aku masih hidup????

“aku pengen ngasih kejutan. Jadi aku kesini tanpa ngasi tahu sebelumnya. Pengen ngajak kamu keluar. Nonton sama makan malam. Jam setengah tujuh aku sampai disini. Aku langsung masuk aja begitu tau pintunya ngga kamu kunci. Aku cariin eh kamu ngebo dikasur. Mana belum ganti baju. Pasti belum mandi juga ya? Payah kamu ini. calon istri malah gini? Tuh blazer ma rok kamu sampe lecek kayak gitu!”

Aku bengong. Menghadapi makhluk lucu berkelamin laki-laki yang sibuk ngoceh di depanku. Surya, Tunanganku. Ada disini? Aku bingung. Katanya ada job di luar kota sebulan?

“Wi?! Malah bengong siy? Duduk dunk! Masa rebahan terus gitu? Liat jam berapa sekarang udah jam delapan malam. Mandi sana! Kan kita mau jalan. Masa ngajak cewe kusut gitu siy? Udah aku bela-belain cuti buat nemenin kamu, kamunya malah gitu!”

Aku bangun. Duduk. Mengamati. Ah aku masih memakai setelan kerjaku. Menatap surya yang terus ngomel. Dan aku langsung memeluknya. Menangis terisak isak. Surya terdiam. Tangannya lembut mengusap punggungku.aku membenamkan wajahku. Dan semakin keras tangisku.

“Wi, kenapa? Kaget ya aku datang tiba-tiba? Trus aku ngrusak mimpi indah kamu yang sibuk ngebo ya?”

Aku tertawa. Memukul pundak Surya. Bisa-bisanya bercanda saat aku kayak gini?

“nggaklah. Aku malah seneng. Tadi itu aku mimpi buruk, serem banget. Untung ada kamu yang ngebangunin aku……”

“oya? Berarti aku tim SAR dunk nyelametin kamu?”

“emangnya aku korban banjir Kali Codet? Nggaklah! Aku tu ngimpi jadi sleeping beauty. Eh pangerannya ternyata kamu. Bangunin aku ke dunia nyata. Ngga ganteng juga siy. Cuma kodok bangkong!”

Surya tergelak. Aku juga. Dia membopongku dari tempat tidur. Menuju ke ruang tengah.

“Wi, kamu berat juga yaa? Nyesel aku gendong. Harusnya pake tinggal sorong! itu tuh yang buat ngangkutin material bahan bangunan”

“masa bodo! Eh tapi makasi ya, udah bangunin aku. Makasih banget!”

Surya masi melangkah hati-hati dengan aku di gendongannya. Matanya menatap mataku begitu dalam. Ada satu ketulusan disana. Tuhan, kenapa aku begitu berburuk sangka pada Surya? Surya hanya tersenyum. Aku juga.

“Surya, mimpi emang indah ya? Tapi ternyata kalah indah sama kenyataan yang kita hadapi jika kita melihat dari sudut yang berbeda”

“emang kenapa Wi?”

“ah ngga papa. Mulai sekarang jangan pernah biarin aku pergi ya Sur? Never let me go what ever will be….walau aku cuma jalan-jalan di dunia mimpi”

“iya. Nggak bakal deh. Bakal aku gendongin terus kayak gini! Biar ga ilang kemana-mana.”

“janji?” aku mengacungkan jari kelingkingku.

“janji. Tapi aku ga bisa ngasi kelingkingnya. Tuh, dua tangan uda kepake buat manggul kebo!”

Aku tertawa. melihat Surya yang sewot tampak keberatan membopongku. Aku tersenyum. Mengetahui bahwa aku tak perlu menjadi sleeping beauty dalam mimpi yang mendambakan kematian abadi dan bebas dari kesepian. Dalam kehidupan nyata aku sudah menjadi sleeping beauty. Yang tertidur dengan blazer kantoran, acak-acakan dan dibangunkan dengan kodok bangkong. Kodok bangkong yang sangat aku cintai. Surya, tunanganku. Membangunkanku dari mimpi buruk untuk menghadapi realita yang dunia punya.

Never let me go honey, what ever will be

22 Februari 2012. 11.06 pm

Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: