Jendela Senja [Cerpen]

20.53 1 Comments

Aku menyelonjorkan kakiku di teras depan. Hari ini baru saja aku pindahan dari kost lamaku. Sudah lama aku ingin pindah tapi baru kali ini niatku terlaksana. Kost lamaku cukup jauh dari kampus sehingga aku harus menghabiskan hampir lebih dari satu jam perjalanan setiap hari untuk pulang pergi ke kampus. Meski begitu, kost baruku ini tidak lebih baik dari yang sebelumnya. Aku harus berbagi ruangan sempit ini dengan dua orang kawanku. Tidak betah rasanya berlama-lama di dalam sana. Aku lebih senang seperti ini. Duduk selonjoran di teras, hanya berkaus oblong sambil kipas-kipas. Nikmatnya…

Kampusku ini cukup dekat dengan bandara. Aku bisa melihat pesawat terbang rendah di atas kepalaku. Pesawat-pesawat itu sudah seperti nyamuk saja, mondar mandir setiap saat tanpa peduli padaku yang sedang istirahat. Saat aku mendongakkan kepala, mencari pesawat terbang yang gemuruhnya memekakkan telinga, tatapanku terpaku pada sosok di atas sana. Di loteng kost yang berdampingan dengan tempatku. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena terhalang oleh rambutnya.

Senja ke-6.

Sore ini, seperti biasa aku melihat gadis itu duduk di loteng kostnya. Rambut hitam panjangnya selalu seperti itu. Menutupi sebagian wajahnya. Hingga sat ini aku tak tahu pasti tempat apa itu. Siapa pula yang mengizinkanku masuk ke dalam sana? Bahkan jika aku sekedar berdiri di depan garasi mereka pun bisa menimbulkan tanda tanya besar. Siapakah dia? Apa hubungannya dengan penghuni kost ini? Mungkin begitulah yang akan mereka pikirkan. Aku? Aku adalah aku. Hubunganku dengan mereka? Tidak ada. Aku hanya tetangga baru mereka sekitar empat hari yang lalu. Kostku hanya dua langkah dari tempat mereka tinggal.

Ngomong-ngomong soal gadis yang duduk di loteng itu, aku selalu penasaran terhadapnya. Aku penasaran apa yang ia lakukan di sana setiap sore. Selepas adzan Asar hingga terdengar suara orang tadarus dari mesjid kampusku yang berarti sebentar lagi waktu Magrib tiba. Tak ada yang istimewa memang. Menurutku ia tidak begitu cantik. Ya, karena ‘bagiku’ orang cantik itu akan terlihat tetap cantik walau dilihat dari ujung dunia sekali pun. Jangan protes! Sudah kutegaskan ini hanya menurut pendapatku.

Hari ini pengamatanku terhadap aktivitasnya cukup mengalami kemajuan, meski hanya satu langkah. Ternyata ia sedang membaca buku. Aku tak tahu secara persis apa judul buku tersebut. Lebih tepatnya aku tak mau tahu. Tidak penting. Setelah kupikir-pikir tak ada yang istimewa juga. Memang menurut kalian apa yang akan dilakukan oleh seseorang yang bengong di atas loteng selain baca buku-atau pura-pura baca buku? Sepertinya tidak ada.

***

Seharusnya hari ini tepat menjadi senja ke-13 aku melihatnya termenung di atas sana. Eh, jangan salah sangka dulu! Aku tidak pernah menghitungnya secara sengaja. Aku hanya mengikuti perhitunganku tinggal di kost baru ini. Bukankah sepuluh hari sudah aku tinggal di sini bersama dua orang kawan karibku? Tapi hari ini cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan deras tak berhenti turun sejak siang tadi. Angin kencang menggoyahkan pohon-pohon pisang di halaman tetanggaku. Bunyi guntur berpadu dengan gemuruh pesawat yang menantang maut di udara. Situasi sangat kacau. "Semoga dia tidak sedang duduk di sana.", doaku dalam hati.

Senja ke-21.

Aku duduk di beranda kostku lagi. Seperti biasa, dari sana aku bisa melihatnya duduk di atas loteng sambil membaca buku yang tak pernah sama setiap harinya. Kover buku itu selalu berbeda-merah kuning hijau di langit yang biru -haiyahh-, hehe. Aku heran. Sudah lama aku mengamatinya seperti ini, tapi ia tak pernah menyadari atau memang sengaja tidak peduli? Ah, mengapa aku seperti ini? Mengapa aku malah memiliki kebiasaan aneh seperti dirinya? Bahkan lebih aneh, setiap sore selama dua puluh hari terakhir kecuali hari ke-6 dan ke-13, karena hujan aku duduk di sini menunggunya keluar dan ia duduk di atas sana lalu kembali masuk saat muadzin memanggil.

Hei lihat! Ada apa dengan gadis itu? Apakah ia menangis? Perkembangan yang luar biasa dari pengamatanku! Aah, sepertinya bukan. Aku bahkan sudah bisa menebak cerita ini dari awal. Orang yang suka bengong biasanya suka menangis sendiri bahkan tertawa sendiri. Cerita ini sudah tidak menarik lagi. Mengapa harus ada adegan menangis segala sih? Mengapa pula aku peduli?

Saat aku beranjak masuk setelah mendengar adzan berkumandang, aku merasakan sesuatu jatuh di atas pundakku. Aku kira ada cicak jatuh. Jujur, aku paling benci cicak. Untungnya bukan. Itu hanyalah secuil penjelasan.

Senja ke-23.

“Aku ingin bertemu dengan dia.” Ucapku takut-takut.

Bagaimana tidak takut? Lima pasang mata serentak menghujamkan tatapan seramnya di mataku. Kuterka-terka arti dari masing-masing tatapan tersebut. Sepasang mata di ujung kanan menyiratkan kewaspadaan. "Hei, memangnya aku ini mau maling apa?" Gumamku. Dua pasang mata di sampingnya menatapku tanpa berkedip, seolah ingin menelanjangiku dari ujung kaki hingga rambutku dengan sorot tajamnya. Dua pasang mata berikutnya hanya tatapan ingin tahu dan minta penjelasan, mau apa datang kemari? Sepasang terakhir? Uh, sepertinya ia tidak sedang memperhatikanku. Ia malah sibuk dengan entah tablet, pil, kapsul atau apalah namanya. Mungkin hadiah terbaru sang kekasih atau hasil rengekan kepada maminya seperti anak kecil yang meminta mainan. Ayolah, tentu saja aku tidak serius! Aku bahkan tidak berani memandang mereka, apalagi sampai balas menatap sorot tajam mereka kepadaku.

“Dia siapa?” bentak yang paling ujung kanan yang mengira aku mau maling.

“Oh, eh aku…dia…” aku malah tergagap.

Duh bodoh sekali sih aku. Mau ditaruh di mana mukaku? Masak baru ditantang lima cewek aja udah KO duluan. Perlahan aku menarik napasku dalam-dalam. Kupejamkan mataku untuk beberapa saat. Uh memangnya sedang mengahadapi siapa aku ini? Hei, kalian pikir gampang menghadapi lima harimau buas di kandang mereka? Ini bahkan lebih sulit dari menghadapi lima harimau itu.

“Aku ingin bertemu dengan temanmu yang biasa duduk di atas loteng.” Ucapku tegas.

Entah dari mana kepercayaan diriku itu berasal. Aku bahkan bisa lebih pede dari kelima makhluk di hadapanku. Memang harusnya seperti itu, kan?

Bulu kudukku merinding. Apakah mereka serius? Mungkinkah mereka sengaja meyembunyikan salah seorang teman mereka? Aku kira seharusnya ada enam orang yang tinggal di sana. Tapi aku dapat melihat dengan jelas ekspresi lima wajah itu. Juga sorot mata mereka. Semuanya menampakkan keheranan dan kebingungan plus mendadak ketakutan. Bukan tatapan galak seperti ketika aku datang pertama kali tadi. Ah, ini bisa membuatku benar-benar gila! Aku kembali membuka lipatan kertas kecil di genggamanku.

"Aku menyukai senja. Aku mencintai merah langitnya. Jangan tanya mengapa karena aku tak punya alasan untuk itu. Aku menangis karena aku bahagia. Aku bahagia karena akhirnya ada seseorang yang peduli padaku. Menyenangkan rasanya jika ada yang perhatian pada dirimu, bukan begitu? Tapi, cukuplah sekedar memperhatikanku dari bawah sana. Jangan pernah kau penasaran terhadapku, apalagi mencariku. Dan mulai saat ini, kau tak perlu lagi menungguku."

Aku mendongakkan kepala ke loteng itu. Lihat! Dia ada di sana. Tidak! Dia tidak sedang duduk. Dia berdiri memandangku dari atas sana. Aku melihat senyum tergurat di bibirnya. Apa? Dia tersenyum? Oh tidak, tidak! Aku mengucek-ngucek mataku tak percaya. Kutarik napasku dalam-dalam dan kembali mendongak. Aku terkesiap. Tubuhku menggigil. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Ya Tuhan, dia tidak ada!


Faisal Mandala

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

1 komentar:

  1. Salam..
    Ini cerpen karya saya dengan judul asli "Gadis Senja", mohon dicantumkan sumbernya..
    http://dynidirgantara.blogspot.com/2013/03/gadis-senja.html
    terima kasih :)

    BalasHapus